Jumat, 3 Oktober 2025

Pilkada Serentak 2024

Konsolidasi KIM untuk Pilkada 2024 Dinilai Berpotensi Munculkan Calon Tunggal di Berbagai Daerah

Menurut Titi, menguatnya hegemoni calon tunggal dalam Pilkada 2024 disebabkan sejumlah faktor di antaranya karena calon tunggal menjanjikan kemenangan

Penulis: Gita Irawan
Tangkapan Layar
Anggota Dewan Pembina Perludem sekaligus Pengajar Hukum Pemilu Universitas Indonesia Titi Anggraini dalam diskusi daring bertajuk Menggugat Fenomena Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak Tahun 2024 yang digelar The Constitutional Democracy Initiative pada Minggu (4/8/2024). 

"Dan lebih beroririentasi ya sudahlah kita bagi-bagi lapak saja daripada kemudian dia tambah berdarah-darah keluar uang dan dari sisi kerja kelembagaan," sambung dia.


Calon Tunggal Berbahaya

Fenomena calon tunggal dalam Pilkada dinilai berbahaya. 

Anggota Komnas HAM RI periode 2017 sampai 2022 Amriuddin Al Rahab memangdang fenomena tersebut sebagai gejala otoritarianisme politik.

Menurut dia hak memilih bagi warga negara adalah hak asasi manusia sekaligus hak konstitusional warga negara yang dijamin konstitusi.

Baca juga: Dedi Mulyadi Didukung Golkar Maju Pilkada Jawa Barat, Bagaimana Elektabilitasnya?

Begitu partai parpol atau koalisi parpol mengajukan calon tunggal, menurutnya dapat dimaknai parpol-parpol itu mengabaikan sekaligus merampas hak warga negara dalam memilih dan dipilih.

Dengan melihat esensi tersebut, menurutnya calon tunggal tidak berguna dalam memperbaiki demokrasi di Indonesia.

"Esensi dari demokrasi adalah terjaminnya hak setiap warga negara memilih dan dipilih. Begitu itu diabaikan atau dirampas oleh orang-orang yang sedang memburu kekuasaan, dengan sendirinya demokrasi tinggal cangkangnya. Isinya sudah hilang. Inilah bahayanya dari calon tunggal ini," kata Amruddin.

Selain itu, menurut dia fenomena calon tunggal juga menunjukkan kegagalan partai politik dalam melakukan tanggung jawab politiknya sebagai tempat kepentingan banyak orang diagregat dan diartikulasikan. 

Salah satu caranya, lanjut Amiruddin, dengan memunculkan tokoh yakni sosok yang dianggap mapu membawa gagasan parpol tersebut.

Begitu parpol tidak mampu menciptakan tokoh, menurutnya, maka dengan sendirinya parpol tidaklah ada. 

Sebaliknya, kata Amiruddin, yang ada hanyalah sekumpulan orang atas nama parpol.

"Jika calon tunggal itu berkembang, sekarang gejalanya sudah muncul, beberapa partai sudah kumpul sana-kumpul sini untuk merancang calon tunggal ini, itu menandakan bahwa napas demokrasi kita akan semakin tercekik," katanya.

"Kita akan berhadapan dengan orang-orang yang meminpin daerah nanti dengan cara otoriter. Kenapa otoriter bisa terjadi? Karena dia menjadi orang satu-satunya di wilayah itu yang memiliki otoritas politik, karena tidak ada kompetitornya," lanjut Amiruddin.

Menurut dia calon tunggal juga merupakan upaya politik yang tidak dilakukan aktor tunggal melainkan banyak aktor.

Dalam ilmu politik, kata Amiruddin, kondisi itu disebut monopoli politik di wilayah lokal atau di suatu daerah baik itu provinsi, kabupaten atau kota oleh orang kuat lokal.

"Nah orang kuat lokal ini biasanya adalah pertahana dalam politik atau orang yang didukung oleh banyak kekuatan politik, untuk menjadi orang kuat di wilayah itu secara baru, untuk menyingkirkan kompetitornya yang lain," kata dia.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved