Senin, 29 September 2025

Dua Seniman Bentuk Praktik Kreatif Lewat Staging Desire, Ada Karya Seni dari Bahan Sederhana

Gagasan ini diawali dengan kekaguman Nindityo Adipurnomo melihat wayang karton potongan tangan Imam Sucahyo di Tuban.

Foto: Dok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya
PAMERAN STAGING DESIRE - Dua seniman berbeda pendekatan membentuk praktik kreatif lewat gelaran Staging Desire. Pameran yang dihadirkan  Komunitas Salihara ini berlangsung 14 Juni–27 Juli 2025 di Galeri Salihara, Jakarta Selatan. Gagasan ini diawali dengan kekaguman Nindityo Adipurnomo melihat wayang karton potongan tangan Imam Sucahyo di Tuban. 

Staging Desire menandai debut solonya di Jakarta.

Praktiknya bermula dari pengamatan intens terhadap manusia, lanskap, dan ritme kehidupan sehari-hari di Tuban hingga ancaman abrasi dan sampah di pelabuhan pada era Majapahit.

Dengan bahan temuan di sekitar Tuban seperti pensil, pulpen, krayon, kayu apung, plastik bekas, dan kerang, Imam menciptakan karya figur-figur visual yang mengaburkan memori kenyataan dan imajinasi.

“Karya saya gabungan dari kehidupan sehari-hari, terus masalah alam lintasan-lintasan itu jadi kayak kenyataan dan khayalan saya coba gabungkan, mungkin dari masa lalu sampai masa sekarang, saya gabungkan, untuk melihat ke depan," ujar dia dalam keterangan tertulisnya, Minggu (15/6/2025).

Karyanya menunjukkan bagaimana pengamatan sehari-hari terhadap manusia, lanskap, dan rutinitas, dapat menghasilkan karya yang memadukan memori dan imajinasi, menjadikan makna bersifat cair dan terbuka untuk bisa ditafsirkan bersama.

Kemudian Nindityo Adipurnomo.

Ia telah menjadi suara penting dalam seni rupa kontemporer Indonesia selama tiga dekade ini.

Ia dikenal atas eksplorasinya terhadap identitas budaya Jawa, dengan fokus pada simbol-simbol tradisional dan posisinya dalam masyarakat modern.

Karyanya telah dipamerkan baik di Indonesia maupun mancanegara, termasuk Singapore Biennale, Asia Pacific Triennial, serta berbagai galeri dan museum di Eropa, Asia, dan Amerika Serikat.

Melalui karyanya, Nindityo mengajak pengunjung untuk meninjau ulang cara kita memandang simbol budaya dan mempertanyakan relevansinya dalam lanskap sosial masa kini.

Sebagai Co-Founder Cemeti Institute for Art and Society dan Indonesian Visual Art Archive (IVAA), kontribusi Nindityo tidak hanya melalui karya, tetapi juga lewat pengembangan ekosistem seni yang terbuka terhadap eksperimen dan regenerasi.

“Secara umum kegelisahan itu tidak selalu negatif seperti yang dipahami orang umum. Bagi saya, gelisah berarti keinginan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat, untuk diri sendiri dan orang lain. Dalam konteks seni, kegelisahan itu adalah energi yang membuat saya tidak berhenti pada satu definisi," tutur Nindityo.

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan