Senin, 29 September 2025

Berantas Mafia Obat dan Ketergantungan Impor, Pakar Kesehatan Usul TNI Jadi Mitra, Bukan Pengendali

Pemerintah tengah menjajaki strategi baru untuk memberantas peredaran obat ilegal dan mengurangi ketergantungan impor bahan baku obat.

freepik
Ilustrasi obat. Pemerintah tengah menjajaki strategi baru untuk memberantas peredaran obat ilegal dan mengurangi ketergantungan impor bahan baku obat. Ini saran pakar. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pemerintah tengah menjajaki strategi baru untuk memberantas peredaran obat ilegal dan mengurangi ketergantungan impor bahan baku obat.

Salah satu strategi ini melalui kerja sama dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai angkatan bersenjata resmi Republik Indonesia yang bertugas menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa dari ancaman dalam maupun luar negeri.

Baca juga: Penjelasan soal Neuropati Perifer dari Ahli Saraf: Apa, Penyebab dan Gejala yang Harus Diwaspadai

Namun, gagasan pelibatan TNI dalam produksi obat menuai kritik sekaligus saran konstruktif.

Peneliti Health Security Grifith Dicky Budiman melihat keterlibatan TNI bisa membawa manfaat dalam aspek keamanan dan distribusi, tapi bukan sebagai pelaku bisnis utama di sektor farmasi.

Dicky Budiman adalah seorang dokter, epidemiolog, dan peneliti Indonesia yang dikenal luas sebagai analis Covid-19 selama pandemi berlangsung.

Baca juga: Terkait Kasus Gagal Ginjal Akut, Polri Dalami Kandungan Vaksin Imunisasi dan Paracetamol

Dalam pandangannya soal dilibatkannya TNI dalam pemberantasan obat ilegal, Dicky memandang perlu namun dalam beberapa langkah terutama pengawasan.

“Tentu ada potensi dukungan militer ini dapat membantu pengawasan perbatasan, gudang liar, atau distribusi ilegal di daerah rawan. Dan tentu kolaborasi intelijen antara TNI dengan aparat hukum sipil, ini bisa menguatkan investigasi dan penindakan terhadap mafia farmasi,” ungkap Dicky pada keterangannya, Jumat (25/7/2025). 

Namun, ia menggarisbawahi bahwa TNI tidak memiliki kewenangan hukum dalam ranah pidana sipil, kecuali dalam situasi darurat militer. 

Bila TNI terlalu jauh masuk dalam sektor produksi obat, hal ini berpotensi melanggar prinsip tata kelola sipil dan mengganggu pasar farmasi yang seharusnya independen.

“Ada potensi overlap kewenangan dan potensi pelanggaran prinsip sipilis supremasi jika TNI terlalu jauh masuk ke ranah bisnis, produksi, atau regulasi,” ujarnya.

Selain itu, Dicky juga menyoroti akar persoalan mahalnya harga obat di Indonesia, yakni ketergantungan terhadap bahan baku impor (Active Pharmaceutical Ingredient/API) yang mencapai lebih dari 85 persen. 

“Langkah yang harus dilakukan pemerintah adalah penguatan industri hulu farmasi atau API ini. Jadi dengan membangun kawasan industri API nasional di wilayah-wilayah yang ditunjuk atau kawasan kerja sama TNI,” kata Dicky.

Ia menambahkan, upaya ini perlu dilengkapi dengan insentif fiskal, pembiayaan melalui BUMN, skema kemitraan publik-swasta, serta reformasi regulasi seperti revisi e-katalog dan sistem harga eceran tertinggi (HET). 

Pemerintah juga disarankan mendorong penggunaan komponen lokal dan membuka jalur transfer teknologi dari negara-negara mitra seperti India, China, dan Korea.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan