Selasa, 30 September 2025

Dua Kebiasaan Ini Bisa Tingkatkan Anak Terkena Rabun Jauh

Miopia atau rabun jauh pada anak harus segera ditangani. Ini 2 kebiasaan yang jadi penyebab.

SCMP
RABUN JAUH - Miopia atau rabun jauh pada anak harus segera ditangani. Ini 2 kebiasaan yang jadi penyebab. 

Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Miopia atau rabun jauh pada anak harus segera ditangani agar tidak terlampau tinggi.

Percepatan pertambahan minus sangat dipengaruhi oleh gaya hidup dan faktor genetik.

Baca juga: Memahami Efek Penggunaan Gadget terhadap Kesehatan Mata Anak, Banyak yang Rabun Jauh di Usia Muda

Ketua Contact Lens Service di JEC Eye Hospitals and Clinics DR. Dr. Tri Rahayu, SpM(K) menuturkan kebiasaan sehari-hari bisa menjadi faktor anak terkena rabun jauh

Kebiasaan yang dimaksud adalah 

  1. - Kurangnya paparan sinar matahari alami
  2. - Banyak berada di dalam ruangan 

Selain dua kebiasaan itu, riwayat keluarga dengan miopia merupakan faktor risiko utama rabun jauh.

“Pascapandemi, ada peningkatan tajam jumlah anak dengan miopia, terutama karena perubahan pola aktivitas harian yang lebih sedentari dan didominasi layar digital,” jelasnya.

Orang tua perlu mengetahui bahwa miopia bukan hanya soal penglihatan kabur.

Gangguan penglihatan ini bisa memengaruhi prestasi belajar dan kesehatan mental.

Baca juga: Kisah David de Gea, Kiper MU yang Punya Riwayat Rabun Jauh hingga Disuruh Ferguson Operasi

Anak-anak dan remaja yang sering bermain di luar rumah atau ruangan bisa menurunkan angka kejadian rabun jauh.

Hal ini dikarenakan anak akan memandang ruang yang luas sehingga terlatih melihat fokus penglihatan yang jauh.

Aktivitas di luar ruang (outdoor activities) akan dapat menjadi faktor pelindung terjadinya miopia pada anak.

Miopia yang tidak ditangani sejak dini dapat berkembang menjadi high myopia (lebih dari -6.00 dioptri), yang berisiko menyebabkan komplikasi serius seperti glaukoma, ablasi retina, dan dioptri), yang berisiko menyebabkan komplikasi serius seperti glaukoma, ablasi retina, dan katarak dini.

Oleh karena itu, strategi promotif dan preventif seperti skrining dini dan peningkatan akses terhadap layanan mata menjadi sangat krusial.

"Miopia bukan sekadar kondisi mata yang memerlukan kacamata. Ini adalah kondisi progresif yang harus ditangani sejak awal agar tidak berkembang menjadi miopia tinggi dengan risiko komplikasi serius. Seperti dengan terapi terapi Orthokeratology (Ortho-K),” tutur dr Tri Rahayu.

Diderita Lebih dari 65 Juta Anak di Dunia

Miopia diderita sekitar 65 juta anak di seluruh dunia pada tahun 2023.

Angka ini diperkirakan meningkat menjadi 275 juta anak pada tahun 2050 jika tidak ada upaya pencegahan dan pengendalian menyeluruh.

Penelitian terbaru di Jakarta yang diterbitkan oleh The Open Public Health Journal 2023 mengungkap setelah pandemi, prevalensi gangguan refraksi pada anak sekolah dasar melonjak drastis menjadi 40 persen, dengan mayoritas belum pernah mendapatkan koreksi penglihatan.

Studi ini juga mencatat bahwa hanya 4 persen dari anak yang mengalami gangguan refraksi telah memakai kacamata sebelum pemeriksaan dilakukan, menunjukkan keterbatasan akses terhadap layanan mata yang memadai.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved