Selasa, 7 Oktober 2025

Respon Kemenkes soal Rencana Penyebaran Nyamuk Wolbachia yang Ramai-ramai Ditolak

Program penyebaran nyamuk dengan teknologi Wolbachia atau nyamuk ber-wolbachia terus mendapat penolakan seperti di Kota Bandung dan Bali.

Tribun Jabar/Gani Kurniawan
Massa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Anti Nyamuk Wolbachia (AMAN) menggelar aksi unjuk rasa dan sebagian lagi melakukan audiensi dengan anggota DPRD, di Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (18/12/2023). Aksi damai sejumlah elemen warga di Bandung Raya ini untuk meminta penjelasan mengenai program penyebaran nyamuk Wolbachia dan meminta program ini tidak dilakukan karena masyarakat menjadi bahan percobaan. Mereka menyebutkan beberapa contoh negara yang sudah disebarkan nyamuk ini, seperti Singapura. Pada awalnya DBD berkurang, namun setelah empat tahun, kasus DBD malah naik hingga 200 persen. Belum lagi dampak ekologi alam yang terganggu. TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Program penyebaran nyamuk dengan teknologi Wolbachia atau nyamuk ber-wolbachia terus mendapat penolakan seperti di Kota Bandung dan Bali.

Hal ini kemudian direspons oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementrian Kesehatan RI dr. Imran Pambudi MPHM yang ditemui di Jakarta, Selasa (19/12/2023).

Baca juga: Pro Kontra Nyamuk Wolbachia, Warga Bandung Lakukan Demo hingga Lokasi Penyebaran

Ia mengatakan, sejak diperkenalkan ke publik intervensi sebut sudah sering mendapatkan penolakan.

Padahal pihaknya menyatakan, upaya tersebut dapat menurunkan jumlah kasus Demam Berdarah Dengeu (DBD).

Baca juga: Di Bali Ditunda Karena Banyak yang Menolak, Program Nyamuk Wolbachia Bakal Digelar di Jabar

"Kalau nihil kasus DBD enggak menjamin. Tapi ini upaya untuk menihilkan kematian," ujar dia.

Pihaknya pun menghormati penolakan yang dilakukan sejumlah pihak dan masih berupaya untuk melakukan sosialisasi melalui key person, seperi tokoh masyarakat dan agama.

"Jadinya harus melakukan pendekatan. Kami prinsipnya jika ada masyarakat yang belum setuju kita pasti lakukan pendekatan dulu sampai kondusif," tutur dr.Imran.

Diketahui Kasus DBD pertama kali ditemukan di Indonesia pada 1968, di Jakarta dan Surabaya. 

Saat itu, tingkat kematiannya sangat tinggi karena belum diketahui penyakitnya.

Seiring waktu, tingkat kematian akibat DBD makin menurun, tetapi angka kejadian masih tetap tinggi. 

Hal ini terlihat dari penurunan kasus dengue dibandingkan tahun lalu. Pada 2022, tercatat ada 143.000 kasus dan 1.236 kematian, sedangkan tahun ini hanya terjadi 85.900 kasus dan 683 kematian.
Salah satu intrvensi pada lingkungan adalah intervensi pada vektor (nyamuk).

Adapun intervensi pada vektor misalnya menggunakan zat kimia seperti abate untuk larvasida, dan fogging atau obat semprot sebagai insektisida. 

“Intervensi vektor yang ketiga yaitu dengan teknologi nyamuk ber-Wolbachia,” ujar dr. Imran. 

Ia menjelaskan, telah terbukti bahwa penyebaran nyamuk A. aegypti ber-Wolbachia memberikan dampak positif bagi penurunan kasus dengue.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved