Aman B Pulungan : Stunting Anak Tidak Hanya Sekadar Masalah Nutrisi
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa intervensi berupa peningkatan asupan gizi tidak dapat memperbaiki pertumbuhan linear secara bermakna
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masalah stunting harus dilihat secara komprehensif, menelaah dari berbagai faktor yang bisa memengaruhinya, termasuk standar pengukuran yang digunakan.
Stunting erat dikaitkan dengan masalah nutrisi, tetapi hubungan antara nutrisi dan pertumbuhan linear masih diperdebatkan.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa intervensi berupa peningkatan asupan gizi tidak dapat memperbaiki pertumbuhan linear secara bermakna.
Penelitan yang dilaksanakan di Nusa Tenggara Barat menunjukkan pemberian makanan tambahan kepada anak stunted tidak menghasilkan kenaikan berat badan dan tinggi badan yang signifikan.
Sedangkan, penelitian di Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara, dan Bali menunjukkan tidak ada hubungannya ketebalan lipat lemak kulit (indikator nutrisi) dengan tinggi badan.
"Oleh karena itu, penyebab perawakan pendek anak-anak ini mungkin disebabkan oleh hal lain," kata Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI (Hon.) dalam Sidang Terbuka dan Upacara Pengukuhan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) 2021 yang dilakukan secara daring.
Baca juga: Menko PMK: Penanganan Stunting Hingga HIV Tidak Boleh Terabaikan di Tengah Pandemi Covid-19
Aman yang telah dikukuhkan sebagai Guru Besar ke-16 Ilmu Kesehatan Anak FKUI memberikan pidato pengukuhan yang berjudul ‘Penuntasan Stunting pada Anak sebagai suatu permasalahan Multi-Faktorial : Medis, Sosial, Ekonomi, Politik dan Emosional.
Dikatakan Aman, penggunaan stunting sebagai indikator status gizi dapat mengalihkan perhatian dari masalah lingkungan dan sosial yang memiliki dampak besar terhadap pertumbuhan anak karena diskusi mengenai stunting terlalu dititikberatkan pada masalah gizi.
Para ahli mengemukakan pemikiran bahwa masalah stunting bukan hanya nutrisi, tetapi juga masalah sosial, ekonomi, politik, dan emosional.
Kesenjangan sosial dan kurangnya kesempatan mobilisasi sosial di suatu populasi diduga lebih berkontribusi pada pendeknya tinggi badan.
Studi tentang pertumbuhan anak balita Korea Utara dan Korea Selatan pada tahun 2009 menunjukkan bahwa anak balita di Korea Selatan lebih tinggi 6-7 cm dibandingkan Korea Utara. Populasi Jerman Timur juga lebih pendek jika dibandingkan populasi Jerman Barat sebelum Tembok Berlin diruntuhkan.

Faktor genetik juga diprediksi menjadi salah satu yang mempengaruhi tinggi badan, melalui Penelitian disertasi yang dilakukan oleh Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI(Hon.) di Rampasasa, Flores menjelaskan, populasi yang lebih pendek dari rerata nasional.
Lelaki dewasa pada kelompok pigmoid Rampasasa mempunyai tinggi badan di bawah 150 cm, sedangkan tinggi badan perempuan dewasa di bawah 140 cm.
Penelitian ini menunjukkan bahwa populasi pigmoid tidak mengalami malnutrisi, sehingga perawakan pendek mereka tidak termasuk stunting.
Penggunaan kurva pertumbuhan yang tidak tepat dapat menyebabkan over-diagnosis stunting dan underweight, terutama pada populasi Asia, yang secara umum dianggap lebih pendek dan lebih rendah berat badannya dibandingkan populasi di Eropa dan Amerika.