Temuan Riset PPKE FEB Unibraw: Kenaikan Harga Rokok Tak Efektif Turunkan Perokok Usia Dini
Kebijakan Kenaikan harga rokok tidak efektif menurunkan jumlah perokok usia dini, dan prevalensi stunting.
Laporan Wartawan Tribunnews, Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hasil penelitian Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya mengungkapkan fakta lain terkait upaya pemerintah mengurangi konsumsi rokok masyarakat.
Dalam hasil penelitian tersebut menyebutkan kebijakan Kenaikan harga rokok baik melalui kenaikan harga jual eceran (HJE) maupun pengenaan atau kenaikan cukai rokok yang ditetapkan pemerintah, tidak efektif menurunkan jumlah perokok usia dini, dan prevalensi stunting.
Faktor utama penyebab perokok usia dini adalah lingkungan di dalam dan luar rumah, keingintahuan si anak, pengendali stress, dikuti dengan tingkat pendidikan ayah atau orang tua yang rendah.
Demikian, kesimpulan dari hail penelitian yang dilakukan tim peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya, Jawa Timur.
Hasil penelitian, metode penelitian beserta waktu penelitian dan nara sumber atau responden penelitian, disampaikan anggota tim peneliti antara lain Imanina Eka Dalilah, SE., ME dan Joko Budi Santoso, SE.,ME dalam keterangan persnya, Jumat (23/10/2020).
Baca juga: Rekomendasi WHO Untuk Turunkan Perokok Dunia
“Faktor yang menyebabkan banyaknya jumlah perokok usia dini antara lain tingkat pendidikan orang tua khususnya ayah yang rendah serta adanya anggota keluarga yang merokok,” papar salah seorang anggota peneliti PPKE Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur Imanina.
Baca juga: Prevalensi Perokok Anak di Indonesia Melonjak Gara-gara Iklan Rokok Dibiarkan Merajalela
Dijelaskan oleh Joko Budi Santoso, industri hasil tembakau (IHT) memiliki peran penting dalam menyumbang penerimaan negara melalui cukai hasil tembakau yang mencapai lebih dari Rp 150 triliun pertahun selama 5 tahun terkahir.
Baca juga: Kecam Kenaikan Tarif Cukai Rokok, Petani Tembakau Ancam Turun ke Jalan
Selain itu, IHT yang bersifat padat karya mampu menyerap jutaan tenaga kerja dalam rantai produksi maupun distribusi. Fakta ini juga didukung dengan resiliensi IHT dalam menghadapi berbagai krisis ekonomi, termasuk pandemic covid-19.
Meski demikian, keberlangsungan IHT terus mendapat tekanan yang luar biasa melalui berbagai aturan untuk pengendalian konsumsi maupun untuk kepentingan penerimaan negara.
Ketatnya regulasi dan kebijakan kenaikan tarif cukai berdampak pada penurunan volume produksi dan juga penurunan pabrikan rokok. Data menunjukkan, volume produksi selama periode 2016-2018 menurun sebesar 4,59% dan jumlah pabrik rokok dari 4.793 perusahaan pada 2007 hanya tinggal sekitar 10% (487 perusahaan) di 2017 .
Disamping itu, IHT juga menghadapi tekanan yang terus menggerus IHT, salah satunya adalah isu harga rokok terlalu murah mendorong peningkatan prevalansi merokok pada anak usia dini. Tidak hanya itu, isu stunting dan dampaknya bagi kesehatan terus di digaungkan.
Hal ini memberikan tekanan bagi pemerintah untuk mengendalikan konsumsi produk IHT melalui kenaikan harga dengan simplikasi tarif dan kenaikan cukai rokok. Harapannya dengan kebijakan harga akan merubah behavior masyarakat dalam mengkonsumsi produk IHT.
“ Ditengah terjadi penurunan volume produksi dan jumlah pabrikan rokok yang signifikan, data Riskesdas menunjukkan angka prevalensi merokok usia di atas 10 tahun di Indonesia mengalami penurunan dari 29,3% pada 2013 menjadi 28,8% pada 2018.
Akan tetapi, penurunan volume produksi rokok dan penurunan jumlah pabrikan rokok yang besar ternyata berbanding terbalik dengan jumlah perokok usia dini.
Fakta ini menjadi indikasi awal bahwa kebijakan kenaikan tarif tidak selalu linier dengan perspektif teori yang digunakan. Fenomena ini menjadi salah satu reason perlunya kajian yang lebih mendalam terkait penyebab meningkatnya perokok usia dini di Indonesia, “ papar Joko Budi Santoso.
Lebih lanjut Tim Peneliti dari PPKE Universitas Brawijaya memaparkan, kebijakan kenaikan tarif cukai dan kenaikan harga rokok yang beberapa kali dilakukan pemerintah nyatanya tidak searah dengan trend jumlah perokok usia dini dalam beberapa tahun terakhir.
Di tengah penurunan volume produksi rokok dan penurunan jumlah pabrikan rokok yang signifikan, jumlah perokok usia dini meningkat dari 7,2% di tahun 2013 menjadi 9,1% di tahun 2018.
“Hal ini mengindikasikan kebijakan pemerintah melalui kenaikan harga rokok berpotensi tidak efektif menurunkan jumlah konsumsi rokok. Kebijakan tersebut justru dapat mengancam keberlangsungan IHT yang memiliki peran strategis bagi perekonomian nasional,” jelas Joko Budi Santoso.
Hasil Penelitian
Lebih lanjut, Baik Joko Budi Santoso maupun Imanina menjelaskan, hasil survey yang dilakukan oleh PPKE FEB Universita Brawaijaya, didapatkan data, 47% perokok usia dini berada dalam keluarga yang memiliki pendapatan lebih dari Rp 2.000.000 per bulan.
Angka pendapatan tersebut menurut kriteria Badan Pusat Statistik (BPS) merupakan kategori no miskin- BPS menyebutkan bahwa garis kemiskikanan rata-rata secara nasional sebesar Rp 1.990.170 per rumah tangga per bulan.
“Hasil survey terhadap jumlah rokok yang dikonsumsi oleh perokok usia dini menunjukkan bahwa 28% perokok usia dini mengkonsumsi rokok sebanyak 1 – 2 batang per hari, 27% mengkonsumsi 5 – 6 batang per hari, 18% mengkonsumsi 3 – 4 batang per hari,” papar Joko Budi Santoso.
Ditambahkan oleh Imanina, hasil survey terhadap perilaku merokok pada usia dini juga menunjukkan bahwa 95% perokok usia dini membeli harga rokok seharga Rp.1500 per batang, dan 4% perokok usia dini membeli rokok seharga Rp.1000 per batang.
Perokok usia dini cenderung lebih sering membeli rokok dalam bentuk eceran di Pedagang Kaki Lima (PKL). Selain membeli rokok secara eceran, perokok usia dini juga kerap mengkonsumsi rokok dengan pola “join” bersama teman sebayanya.
“Berkaitan dengan harga rokok, hasil survey menunjukkan bahwa 57% perokok usia dini memilih tidak beralih produk rokok jika harga rokok mengalami kenaikan, sedangkan 43% lainnya memilih untuk beralih ke produk lain jika harga rokok naik. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan harga rokok tidak berpengaruh terhadap perubahan konsumsi rokok usia dini,” papar Imanina.
Selanjutnya, menggunakan analisis fuzzy c-means menunjukkan bahwa berdasarkan 9 variabel yang diuji yakni variabel keluarga, keluarga, teman sekolah, lingkungan rumah, kebiasaan, pendapatan keluarga, keingintahuan, pengendai stress, pendidikan ayah, dan pendidikan ibu, mampu memprediksi kecenderungan perilaku merokok usia dini sebesar 74% dengan standart deviasi sebesar 0,3.
Di sisi lain, berdasarkan 7 variabel yang diuji dengan fuzzy c-means menunjukkan bahwa variabel keluarga, teman sekolah, lingkungan rumah, keingintahuan, pengendai stress, pendidikan ayah, dan pendidikan ibu mampu memprediksi kecenderungan perilaku merokok pada usia dini sebesar 72% dengan standart deviasi sebesar 0,1.
Faktor dominan penyebab usia dini mengkonsumsi rokok adalah pendidikan ayah, lingkungan sosial sekitar rumah, teman sekolah. Adanya keluarga merokok yang tinggal serumah berpeluang 3 kali menyebabkan usia dini mengkonsumsi rokok. Pendidikan ayah yang rendah berpeluang 1,4 kali lebih besar untuk usia dini mengkonsumsi rokok. Selanjutnya, adanya lingkungan sosial sekitar rumah yang merokok berpeluang 1,3 kali lebih besar untuk usia dini mengkonsumsi rokok.
Berdasarkan temuan penelitiannya, tim peneliti PPKE Universitas Brawijaya memberikan rekomendasi dan usulan kepada pemerintah, untuk lebih mengoptimalisasi program pendidikan melalui wajib belajar untuk memberikan pemahaman terhadap dampak negatif perilaku merokok di usia dini dan perilaku merokok pada ibu hamil.
“Pengadaan program sosialisasi di sekolah maupun kegiatan di tingkat desa bagi orang tua (melalui PKK dan Posyandu) tentang penanggulangan merokok di usia dini dan pencegahan terjadinya stunting. Perlu penegasan aturan tentang pemasaran terbatas bagi produk IHT,” papar Joko Budi Santoso.