Senin, 6 Oktober 2025

Konflik Palestina Vs Israel

Aktivis Global Sumud Flotilla: Greta Thunberg Dipaksa 'Cium' Bendera Israel

Para aktivis Global Sumud Flotilla mengungkapkan bahwa aktivis Swedia Greta Thunberg diarak dan dipaksa mencium bendera Israel saat ditahan.

Instagram Greta Thunberg
GRETA THUNBERG - Foto diambil dari Instagram Greta Thunberg, Minggu (5/10/2025), dalam postingannya pada 3 Juni 2025. Pada 4 Oktober 2025, para aktivis Global Sumud Flotilla mengungkapkan bahwa aktivis Swedia Greta Thunberg diarak dan dipaksa mencium bendera Israel saat ditahan setelah ia diculik bersama para aktivis dalam misi kapal Global Sumud Flotilla untuk membawa bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza. 

TRIBUNNEWS.COM - Para aktivis yang berpartisipasi dalam misi Global Sumud Flotilla (GSF) menceritakan pengalaman mereka selama serangan Israel terhadap kapal-kapal tersebut dan selama penahanan mereka.

GSF merupakan misi solidaritas untuk Gaza yang mengangkut obat-obatan, makanan, dan bantuan kemanusiaan ke wilayah yang dikepung Israel tersebut.

Pelayaran GSF diikuti lebih dari 40 kapal sipil dengan sekitar 500 anggota parlemen, pengacara, dan aktivis.

Konvoi pertamanya berlayar sejak akhir Agustus lalu dari pelabuhan Spanyol hingga bertemu dengan konvoi lainnya di Tunisia dan melanjutkan ke Gaza, lapor Reuters.

Namun pada 1-2 Oktober, militer Israel menangkap ratusan aktivis dan menyita 42 kapal mereka untuk mencegah bantuan kemanusiaan memasuki Jalur Gaza.

Kementerian Luar Negeri Turki mengatakan sekitar 137 aktivis yang ditahan oleh Israel karena berpartisipasi dalam armada telah tiba di Turki setelah dideportasi pada hari Sabtu (4/10/2025).

Ditemui oleh sejumlah wartawan di bandara Turki, para aktivis tersebut bersuara dan menegaskan mereka tidak takut pada Israel.

Greta Thunberg Dipaksa 'Cium' Bendera Israel

Israel dilaporkan menyiksa para aktivis GSF yang ditahan setelah mereka diculik dari kapal-kapal GSF.

Aktivis Amerika, Windfield Beaver, dan aktivis Malaysia, Hazwani Helmi, mengatakan kepada Reuters di bandara, mereka melihat aktivis Swedia Greta Thunberg dianiaya, dengan mengatakan dia didorong dan diarak-arak dengan bendera Israel.

Jurnalis Turki dan peserta Flotilla Sumud Gaza, Ersin Celik, mengatakan ia menyaksikan pasukan Israel “menyiksa Greta Thunberg,” dan menjelaskan bagaimana ia “diseret di tanah” dan “dipaksa mencium bendera Israel.”

Baca juga: Setelah Sebulan Jalani Misi Global Sumud Flotilla, Husein Gaza Lepas Rindu dengan Ibu dan Istrinya

Israel Mencuri Barang-barang Kami

Aktivis Iqbal Gurpinar mengatakan Israel sekali lagi menunjukkan kelemahannya di mata opini publik internasional dan mengungkapkan wajah aslinya. 

"Mereka ingin kami menangis, tetapi kami tidak melakukannya. Sebaliknya, kami tertawa dan bernyanyi. Mereka terkejut dan bertanya, 'Bagaimana orang-orang ini bisa tetap bahagia?' Mereka meninggalkan kami dalam keadaan lapar. Di sebuah ruangan yang berisi 14 orang, mereka menyajikan sepiring makanan, hampir tanpa kalori," ujarnya.

"Mereka tidak memberi kami air bersih. Mereka menyita semua obat-obatan kami dan membuangnya ke tempat sampah tepat di depan mata kami. Mereka mencuri segalanya dari kami. Para tentara mengambil komputer, ponsel, dan unit pengisi daya kami, lalu memasukkannya ke dalam tas mereka. Mencuri adalah bagian dari sifat mereka. Mereka mencuri tanah air Palestina," lanjutnya.

Sementara itu, aktivis Osman Cetin Kaya mengatakan dia berada di kapal utama Global Sumud Flotilla, yang merupakan kapal pertama yang dihentikan oleh tentara Israel.

Ia menceritakan kekerasan yang dilakukan oleh Israel terhadap para aktivis.

"Tentara Israel menarik kapal ke pelabuhan mereka dan memborgol kami, karena yakin mereka mempermalukan kami. Ketika kami menolak dan melawan, mereka meningkatkan kekerasan mereka. Mereka kemudian memindahkan kami ke kamp tahanan dan dari sana ke penjara. Mereka juga menyita dan mencuri barang-barang pribadi kami," ungkapnya, lapor Al Jazeera.

Diperlakukan Kasar dan Ditodong Senjata

Sementara itu, aktivis Argentina, Gonzalo de Pretoro, mengatakan orang Israel memperlakukannya dengan kasar dan agresif terhadap para aktivis.

Aktivis Prancis asal Maroko, Yassine Benjelloun, mengonfirmasi para aktivis tersebut ditolak aksesnya terhadap obat-obatan dan tidak diberikan air hingga 32 jam setelah penangkapan mereka.

Selain penganiayaan, para aktivis juga menjadi sasaran penyiksaan, termasuk tim penembak jitu yang disertai anjing polisi menyerbu ruang tahanan, membangunkan tahanan dan mencegah mereka tidur lagi.

Aktivis dan jurnalis Italia, Lorenzo Agostino, juga melaporkan mereka mengalami perlakuan kasar. 

"Mereka memperlakukan kami seperti kelompok teroris. Mereka menendang orang-orang, tidak memberi mereka air bersih selama lebih dari dua hari, dan memanfaatkan setiap kesempatan untuk mempermalukan kami semua," ujarnya.

Kami Ditahan di Sel, Digeledah, dan Disuruh Minum Air Toilet

Para aktivis yang diculik berada di bawah tekanan terus-menerus di dalam penjara, serta terus-menerus memindahkan mereka dari satu tempat ke tempat lain sepanjang malam.

"Kami melakukan apa yang harus kami lakukan dan kami berjanji. Kami tidak takut pada mereka. Mereka melakukan tindakan yang sangat buruk. Di tempat mereka menempatkan para perempuan yang ditahan, mereka menggantungkan spanduk kain besar bergambar Gaza setelah kehancuran, dan menulis di atasnya: 'Selamat datang di Gaza. Inilah puncak dari rasa tidak tahu malu'," kata aktivis Ayçin Kant Oğlu.

"Ada tulisan berlumuran darah di dinding. Para ibu yang ditahan menulis nama anak-anak mereka. Kami mengalami sebagian kecil dari apa yang dialami warga Palestina sehari-hari. Mereka tidak menyediakan air bersih dan menyuruh kami minum air toilet. Kami bertahan sekitar 40 jam tanpa makanan," tambahnya.

Ia membenarkan, para perempuan menjadi sasaran penggeledahan telanjang dan pemeriksaan terhadap setiap anggota tubuh mereka.

"Semuanya diambil dari kami. Di setiap titik, kami digeledah berulang kali, bahkan mulut dan sela-sela gigi kami. Mereka mencoba memperlakukan kami seperti teroris, tetapi kami berteriak di depan wajah mereka bahwa kami bukan penjahat, bahwa merekalah yang melanggar hukum dan menculik orang," jelasnya.

Kami Dijemur di Bawah Terik Matahari 12 Jam

Aktivis Kuwait Mohammed Jamal mengungkapkan, Israel memaksa mereka untuk berada di bawah terik matahari selama 12 jam.

"Kami dibiarkan terik matahari selama 12 jam dari tempat penahanan hingga pelabuhan Ashdod. Mereka memperlakukan kami dengan sangat buruk di sana. Kami tidak makan apa pun selama itu dan hanya diizinkan minum air. Kami minum air itu dan pergi ke kamar mandi. Setibanya di Ashdod, polisi memperlakukan kami dengan sangat buruk," tambahnya.

Ia mengatakan sekitar 700 personel pasukan khusus Israel berpartisipasi dalam operasi penangkapan, yang mengindikasikan sekitar 20 tentara menyita kapal yang mereka tumpangi.

Berbicara kepada wartawan, ia mengungkapkan beberapa aktivis menjadi sasaran pemukulan dan pelecehan verbal.

Kami akan Ungkap 'Kegilaan' Israel

Aktivis lain, Zeynep Dilak Ticaret, mengatakan dia tidak menduga Israel akan menunjukkan kegilaan seperti itu di tempat di mana perwakilan dari 72 negara berkumpul.

"Setelah kami memprotes pidato Menteri Genosida, Itamar Ben-Gvir, mereka meningkatkan kekerasan. Kami meneriakkan slogan-slogan dan tidak mengizinkannya berbicara banyak, sehingga ia menjadi sangat marah. Setelah itu, mereka mulai menekan kami lebih keras," ujarnya.

"Ada aktivis dari 72 negara, termasuk anggota parlemen, pemimpin serikat pekerja, pengacara, dan orang-orang dari berbagai profesi," tambah Ocak. 

"Ketika kami berada di sel bersama, semua orang berkata, 'Ketika kami kembali ke negara masing-masing, kami akan menunjukkan wajah Israel yang sebenarnya'," lanjutnya.

Ia mengatakan citra Israel di mata orang-orang Eropa telah runtuh.

"Mungkin kita di Turki tahu sifat asli mereka, tetapi di Eropa citra mereka benar-benar berbeda. Kini, apa pun yang tersisa dari citra Israel telah runtuh. Israel telah memulai kehancurannya sendiri," tambahnya.

Menurut Adalah, sebuah organisasi Israel yang menyediakan bantuan hukum kepada anggota Global Sumud Flotilla, beberapa dari mereka tidak dapat mengakses pengacara dan tidak diberi akses ke air, obat-obatan, dan toilet.

Organisasi tersebut menyatakan para aktivis juga "dipaksa berlutut dengan tangan terikat plastik selama setidaknya lima jam, setelah beberapa peserta meneriakkan, 'Free Palestine.'"

Sumber di Kementerian Luar Negeri Turki melaporkan bahwa para aktivis yang tiba di Bandara Istanbul pada hari Sabtu termasuk 36 warga negara Turki, selain warga negara dari Amerika Serikat, UEA, Aljazair, Maroko, Italia, Kuwait, Libya, Malaysia, Mauritania, Swiss, Tunisia, dan Yordania.

Global Sumud Flotilla (GSF)

Global Sumud Flotilla (GSF) merupakan misi kemanusiaan yang diorganisasikan oleh empat koalisi utama, yaitu Gerakan Global ke Gaza (GMTG), Freedom Flotilla Coalition (FFC), Armada Maghreb Sumud, dan Sumud Nusantara.

Tujuan GSF adalah mengirim bantuan kemanusiaan termasuk makanan dan obat-obatan ke Jalur Gaza yang dikepung oleh Israel.

Dari ribuan orang mendaftar, sekitar 400 orang terpilih untuk berlayar dalam misi GSF menuju Jalur Gaza mulai akhir Agustus lalu.

Misi tersebut diikuti oleh perwakilan dari berbagai negara dan menggunakan lebih dari 40 kapal.

Konvoi pertama kapal GSF berlayar dari pelabuhan Spanyol pada 31 Agustus untuk bertemu dengan gelombang kedua di Tunisia pada 4 September 2025, kemudian berlayar menuju Gaza.

Sejak tahun 2007, Israel telah mengontrol ketat wilayah udara dan perairan teritorial Gaza, membatasi pergerakan barang dan orang di wilayah tersebut. 

Sebelum perang genosida yang dilancarkan Israel, Jalur Gaza tidak memiliki bandara yang berfungsi setelah Israel mengebom dan menghancurkan Bandara Internasional Yasser Arafat pada tahun 2001, hanya tiga tahun setelah dibuka.

Update Serangan Israel di Jalur Gaza

Israel terus melakukan serangan di Jalur Gaza sejak Oktober 2023, menewaskan lebih dari 67.074 warga Palestina dan melukai sekitar 169.430 orang, menurut data Kementerian Kesehatan Gaza pada Sabtu.

Bencana kemanusiaan di Jalur Gaza semakin parah, dengan 453 orang meninggal akibat kelaparan, termasuk 147 anak-anak.

Sejak 27 Mei 2025, serangan Israel terhadap warga Palestina yang tengah mencari bantuan telah menewaskan 2.603 orang dan melukai lebih dari 19.094 lainnya, dilaporkan oleh WAFA.

Pada hari ini, setidaknya 11 orang, termasuk pencari bantuan, tewas akibat serangan Israel di Gaza sejak fajar.

Israel menyalahkan Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) atas kehancuran di Gaza setelah Hamas meluncurkan Operasi Banjir Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023, di mana ratusan warga Israel tewas dan sekitar 250 orang ditahan oleh Hamas.

Menurut laporan OCHA per 3 September 2025, diperkirakan masih ada 48 warga Israel dan warga asing yang ditawan di Gaza, termasuk sandera yang telah dipastikan tewas namun jenazahnya masih ditahan.

Sementara itu, Presiden AS Donald Trump mengajukan proposal baru bagi Israel dan Hamas, menyusul KTT PBB yang membahas solusi dua negara yang dipelopori oleh Arab Saudi dan Prancis pada akhir September.

Pertemuan pertama untuk membahas proposal tersebut dijadwalkan berlangsung di Mesir pada Senin mendatang, dengan kehadiran delegasi dari Hamas, Israel, mediator Qatar, serta utusan dari Amerika Serikat.

(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved