Profil dan Sosok
Profil Sanae Takaichi, Wanita Pertama yang Bakal Terpilih sebagai Perdana Menteri Jepang
Sebagai pengagum berat Margaret Thatcher, Takaichi berjanji untuk membangun "Jepang yang kuat dan sejahtera" di panggung internasional.
Karier Takaichi tak terpisahkan dari mantan Perdana Menteri Shinzo Abe, yang menjadi mentornya.
Ia sering disebut sebagai "konservatif garis keras" dan sekutu dekat Abe, dengan ikatan kuat pada kelompok ultranasionalis Nippon Kaigi.
Pada era Shinzo Abe, Takaichi menjabat berbagai posisi menteri, termasuk Menteri Urusan Okinawa dan Wilayah Utara (2006), Menteri Kebijakan Sains dan Teknologi (2014), serta Menteri Urusan Internal dan Komunikasi (2019-2020).
Pada 2022-2024, di bawah Perdana Menteri Fumio Kishida, ia menjadi Menteri Keamanan Ekonomi, di mana ia mendorong kebijakan "Jepang Pertama" untuk melindungi rantai pasok nasional dari ancaman China.
Takaichi mencalonkan diri sebagai pemimpin LDP untuk pertama kali pada 2021 dan finis di urutan ketiga kala itu.
Pada 2024, ia hampir menang, kalah tipis di putaran akhir dari Ishiba.
Kemenangan 2025 ini datang di tengah krisis LDP: Kekalahan pemilu Juli 2025 membuat koalisi kehilangan mayoritas di kedua kamar parlemen, ditambah skandal pendanaan dan krisis biaya hidup. Takaichi menjanjikan "era baru" untuk partai, dengan fokus merevitalisasi ekonomi dan memulihkan kepercayaan publik.
Pandangan Ideologis

Sebagai nasionalis konservatif, Takaichi dikenal dengan pandangan revisionis terhadap sejarah Perang Dunia II.
Ia pernah mengunjungi Kuil Yasukuni pada 2007, sebuah tindakan yang memicu kemarahan dari Korea Selatan dan China.
Ia menentang reformasi sosial seperti pernikahan sesama jenis dan mendukung suksesi kaisar hanya untuk laki-laki.
Di bidang keamanan, Takaichi adalah "burung hantu" yang mendorong penguatan militer Jepang, termasuk revisi Pasal 9 Konstitusi untuk mengakui Pasukan Bela Diri sebagai "tentara nasional".
Ia juga pernah berjanji untuk memberikan stimulus fiskal guna melawan inflasi dan meninjau kebijakan perdagangan dengan AS di bawah Donald Trump.
Meski demikian, pandangannya yang anti-China dan fokus pada imigrasi telah membuatnya dikritik sebagai "disruptif" oleh investor dan tetangga regional.
Sebagai pemimpin minoritas, Takaichi harus berkoalisi dengan oposisi yang terpecah untuk bertahan. Isu utama termasuk inflasi, ketegangan Asia-Pasifik (terutama Taiwan dan Laut China Selatan), dan pemulihan LDP pasca terjadinya sejumlah skandal yang menimpa partai.
Meski mewakili kemajuan gender, banyak pemilih perempuan melihatnya bukan sebagai advokat kemajuan sosial, melainkan simbol konservatisme.
Namun, bagi pendukungnya, Takaichi adalah harapan perubahan tegas. "Saya tidak merasa gembira sekarang; tantangan sebenarnya ada di depan," katanya usai menang.
seperti yang dikutip dari ABC.
(Tribunnews.com/Bobby)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.