Konflik Palestina Vs Israel
Google Dituding Bersekutu dengan Israel, Pendiri Tersudut Isu Genosida Gaza
Pelapor Khusus PBB wilayah Palestina, Francesca Albanese, menuduh Google dan induknya membantu militer Israel dalam operasi di Gaza
TRIBUNNEWS.COM - Pelapor Khusus PBB untuk hak asasi manusia di wilayah Palestina, Francesca Albanese, menuduh Google dan induknya, Alphabet, serta Amazon dan Microsoft, membantu militer Israel dalam operasi di Gaza.
Dalam laporan resminya yang dirilis akhir Juni 2025, Albanese menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut memberikan dukungan teknologi strategis yang digunakan dalam operasi militer Israel di Gaza.
Adapun teknologi yang dimaksud yakni cloud computing dan kecerdasan buatan (AI) yang disediakan dalam Proyek Nimbus, sebuah kontrak senilai 1,2 miliar dolar AS yang disepakati antara pemerintah Israel, Google, dan Amazon sejak 2021.
Albanese menyatakan, teknologi tersebut bukan sekadar alat pendukung administratif, melainkan berperan aktif dalam mendeteksi, menargetkan, dan melacak individu atau kelompok yang kemudian menjadi sasaran serangan militer.
Teknologi AI dalam proyek ini diduga digunakan untuk menyaring data warga Gaza dan menandai target berdasarkan pola aktivitas. Ini meningkatkan risiko salah sasaran, terutama dalam kondisi padat penduduk seperti Gaza.
Oleh karenanya proyek tersebut dinilai berbahaya karena dianggap memberi dukungan teknologi militer yang memperkuat dominasi Israel atas wilayah Palestina, terutama dalam konflik yang telah menewaskan puluhan ribu warga sipil.
Ini bukan hanya soal etika bisnis, tapi juga soal konsekuensi global dari teknologi yang digunakan untuk menindas dan menghancurkan.
Buntut isu ini, Google kini tidak hanya menghadapi kecaman dari komunitas internasional dan lembaga hak asasi manusia, tetapi juga dari dalam tubuh perusahaannya sendiri.
Ratusan karyawan Google, baik yang masih aktif maupun yang telah pensiun dilaporkan menyuarakan penolakan keras terhadap keterlibatan perusahaan dalam Proyek Nimbus antara Google dan pemerintah Israel.
Para karyawan menuduh bahwa dukungan Google terhadap militer Israel melalui Proyek Nimbus telah menjadikan perusahaan mereka sebagai bagian dari dugaan kejahatan kemanusiaan.
Mereka menyebut Google secara tidak langsung membantu kampanye genosida terhadap rakyat Palestina.
Baca juga: Bela Netanyahu, Trump Sanksi Petinggi PBB seusai Soroti Genosida Israel di Gaza
Google Bereaksi Keras
Menanggapi laporan tersebut, salah satu pendiri Google, Sergey Brin, menyampaikan memo internal yang bocor ke media dan menyebut laporan Albanese sebagai “antisemit” dan “menyesatkan”.
"Dengan menyebut konflik ini sebagai genosida, laporan tersebut sangat menyinggung banyak orang Yahudi yang memiliki sejarah panjang sebagai korban genosida sesungguhnya," tulis Brin dalam forum internal DeepMind, divisi AI Google.
Ia menambahkan bahwa menyamakan kebijakan keamanan Israel dengan genosida adalah bentuk penyederhanaan ekstrem dan merugikan dialog yang konstruktif.
Meskipun komentar ini tidak dikeluarkan sebagai pernyataan resmi perusahaan, tanggapan Brin dianggap mencerminkan sikap internal manajemen Google terhadap laporan tersebut.
AS Sanksi PBB
Sementara itu pasca Francesca Albanese melontarkan tuduhan ke Google, Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump resmi menjatuhkan sanksi terhadap Albanese.
Adapun sanksi terhadap Albanese mencakup pembekuan aset di AS dan larangan masuk bagi dirinya serta anggota keluarga dekat.
Melansir dari Al Jazeera, sanksi itu dilayangkan Trump lataran Albanese kerap melontarkan kritik pedas terhadap kebijakan Israel di Gaza.
Tak sampai disitu Albanese juga mengkritik pemerintahan Trump, khususnya rencana yang diumumkannya pada bulan Februari untuk mengambil alih Jalur Gaza dan memukimkan kembali penduduknya di tempat lain.
Namun kritikan ini dianggap Trump sebagai kampanye politik yang memicu kebencian terhadap Israel dan mendiskreditkan upaya pertahanan diri yang sah dari negara sahabat Amerika.
Menurut Trump sikap Albanese merujuk bias anti-Semit yang ekstrem yang dianggap serangan langsung terhadap kedaulatan dan keamanan nasional AS.
Pemberlakukan sanksi seperti ini bukan kali pertama yang dilakukan Presiden Trump, pada Februari 2025, presiden AS ini sempat mengeluarkan perintah eksekutif untuk menjatuhkan hukuman kepada pejabat Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).
Pada bulan berikutnya Trump kembali menjatuhi sanksi ke 4 hakim ICC, mencakup pembekuan aset, larangan masuk ke AS, dan pembatasan transaksi.
Trump berasalasan Israel adalah sebagai mitra utama AS dalam isu keamanan regional, terutama terkait Iran dan kelompok militan.
Oleh karenanya kritik terhadap Israel dianggap melemahkan kestabilan kawasan yang sejalan dengan kepentingan AS.
(Tribunnews.com / Namira)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.