Pendaki Tewas di Gunung Rinjani
Ibu Juliana Marins Masih Tak Terima Anaknya Tewas di Gunung Rinjani, Tuntut Pemandu dan Pengelola
Ibunda Juliana Marins, Estela Marins, menuntut pertanggungjawaban dari pemandu wisata, Ali Musthofa, dan pengelola Gunung Rinjani
TRIBUNNEWS.COM - Ibunda Juliana Marins, Estela Marins, menuntut pertanggungjawaban dari pemandu wisata, Ali Musthofa, dan pengelola Gunung Rinjani atas kematian anaknya itu.
Estela Marins menuding, pemandu dan pengelola pendakian Gunung Rinjani lalai hingga menyebabkan putrinya tersebut meninggal.
Seperti diberitakan, tragedi menimpa Juliana Marins, seorang pendaki asal Brasil berusia 26 tahun, yang tewas setelah terjatuh dari tebing setinggi lebih dari 487 meter di Gunung Rinjani, Lombok, Indonesia, pada 21 Juni 2025.
Dalam pemberitaan media Brasil, Fantastico, Juliana mendaki bersama sekelompok wisatawan dan seorang pemandu pada 21 Juni 2025.
Saat merasa lelah, ia meminta untuk beristirahat sejenak.
Namun, menurut saudarinya, Mariana Marins, pemandu dan rombongan justru melanjutkan perjalanan tanpa menunggunya.
“Juliana ada di rombongan itu, tapi dia sangat lelah dan meminta untuk berhenti sejenak. Mereka tetap jalan, dan pemandu tidak tinggal bersamanya,” tulis Mariana dalam unggahan media sosial, mengutip dari The Sun.
Keluarga Marins menuding pemandu pendakian Juliana dan rombongan, Ali Musthofa, telah meninggalkan Juliana seorang diri, yang kemudian terpeleset dan jatuh dari tebing setinggi sekitar 150 meter, lalu tergelincir lebih jauh hingga lebih dari 487 meter.
Namun, Ali membantah tuduhan tersebut.
“Saya tidak meninggalkannya, saya hanya berada tiga menit di depannya. Saya bilang akan menunggunya di depan dan menyuruhnya beristirahat,” ujar Ali kepada media Brasil, O Globo.
Ia mengaku mendengar teriakan minta tolong dan melihat cahaya senter di jurang, namun tak bisa segera menjangkau Juliana.
Baca juga: Autopsi Kedua Juliana Marins: Keluarga Bertaruh Harapan untuk Menguak Kebenaran Tragedi Rinjani
Keluarga juga menyoroti kelalaian tim penyelamat.
Dalam unggahan media sosial pada 25 Juni 2025, mereka menyatakan, “Juliana menderita kelalaian besar dari tim penyelamat. Jika tim sampai kepadanya dalam waktu yang diperkirakan, yaitu 7 jam, Juliana mungkin masih hidup.”
Mereka menegaskan akan mencari keadilan, dengan pernyataan.
“Juliana layak mendapatkan lebih! Sekarang kami akan mencari keadilan untuknya, karena itulah yang pantas dia dapatkan! Jangan menyerah untuk Juliana!”
Drone yang diterbangkan wisatawan lain menangkap gambar Juliana masih hidup pasca-jatuh, memberikan harapan sementara bagi keluarga.
Namun, upaya penyelamatan terhambat oleh cuaca buruk dan medan ekstrem.
Baru pada 24 Juni 2025, tim yang dipimpin pemandu trekking Agam Rinjani berhasil mengevakuasi tubuh Juliana.
“Dia yang turun ke gunung untuk mengambil tubuh Juliana dan membawanya kembali ke atas,” tulis sebuah unggahan, memuji usaha Agam.
Namun, keluarga tetap menyalahkan pengelola taman nasional dan pemerintah Indonesia atas lambatnya respons.
Estela Marins, sang ibu, juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap kedutaan Brasil di Jakarta yang dinilainya tak memberikan dukungan memadai.
“Ini sangat menyedihkan dan serius. Dia gadis berusia 26 tahun, warga Brasil, dan sepertinya tak ada yang peduli kecuali keluarga dan teman,” ujar ayah Juliana, Manoel Marins, kepada TV Globo.
Autopsi pertama di Bali menyimpulkan Juliana meninggal akibat trauma dalam 20 menit pasca-jatuh, namun temuan ini dipertanyakan karena ada bukti drone dan saksi yang menunjukkan Juliana masih hidup beberapa waktu setelah kejadian.
Pemerintah Brasil berencana melakukan autopsi kedua setelah jenazah Juliana tiba di Brasil pada 1 Juli 2025.
Tragedi ini memicu kemarahan publik di Brasil, dengan lebih dari 1,5 juta pengikut memantau akun Instagram yang dibuat keluarga untuk memperbarui upaya penyelamatan.
Unggahan terakhir Juliana di Instagram, yang menampilkan foto-foto damai dari perjalanannya, kini menjadi tempat berkumpulnya ucapan duka dan tuntutan akuntabilitas.
Sikap BTNTGR
Buntut dari adanya peristiwa itu, pihak Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) sedang menyiapkan perubahan terkait Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk para pendaki.
Kepala Pokja World Class Mountaineering BTNGR, Budi Soesmardi menjelaskan, insiden tersebut menjadi titik evaluasi terhadap sistem pengelolaan pendakian, yang kini mendapat perhatian serius dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Dirjen KSDAE.
"Mungkin kalau perubahannya sih kita lebih ke evaluasi bagaimana pengelolaan kita karena ini juga atensi dari Bapak Menteri Kehutanan," kata Budi.
Budi menambahkan, salah satu fokus dari perubahan SOP untuk pendaki Gunung Rinjani yakni pemeriksaan kesehatan.
“Jika sebelumnya surat keterangan sehat wajib diserahkan H-3 sebelum pendakian, TNGR akan mengubah aturan menjadi H-1, disertai surat kebugaran dan riwayat penyakit yang pernah diderita,” terangnya.
Sementara itu, Budi juga menyoroti terkait dengan guide atau pemandu yang diperbolehkan mendampingi pendaki Gunung Rinjani.
Hingga saat ini, aturan mengenai satu pemandu diperbolehkan mendampingi maksimal enam pendaki dan satu porter melayani tiga pendaki lokal atau dua wisatawan asing masih berlaku.
"Melihat kejadian yang kemarin kita akan melakukan evaluasi, melakukan diskusi bersama para praktisi bersama para pelaku yang nantinya nanti bisa merumuskan berapa sih idealnya satu orang pemandu ini bisa mendampingi tamu dalam kegiatan pendakian," sambungnya.
Selain itu, TNGR juga sedang mendiskusikan pembaruan sistem aplikasi pendakian serta daya dukung dan daya tampung kawasan.
Budi Soesmardi menegaskan bahwa dalam kasus pendaki asal Brasil, Juliana, seluruh prosedur sebenarnya telah dijalankan sesuai SOP yang berlaku.
"Kalau menurut kami itu sudah ideal 1 berbanding 6, sesuai sop yang terdahulu," ujar Budi.
Pengakuan Ali Musthofa
Ali Musthofa mengaku sebagai guide dirinya sudah memberikan penjelasan kepada rombongan termasuk Juliana Marins soal medan pendakian Gunung Einjani yang akan dilalui.
Penjelasan diberikan Ali Musthofa sehari sebelum mendaki Gunung Rinjani bersama Juliana Marins.

Ali pun mengatakan Juliana juga sudah menjalani medical cek up sebelum mendaki.
“Kita jemput di penginapan dan malam sebelum pendakian kita jelaskan rute di Rinjani,” ucap Ali saat berbincang, Rabu (2/7/2025).
Setelah melengkapi administrasi, Ali bersama Juliana dan rombongan beserta porter berangkat ke Sembalu, pada Jumat (20/6/2025) pukul 07.00 Wita.
Selanjutnya melakukan registrasi di Resort Sembalun dan memulai pendakian melalui Kandang Sapi.
“Kita naiknya itu Jumat pagi,” ucapnya.
Saat mendaki, Juliana ditemani guide, porter, dan beberapa orang temannya.
“Ada tamu enam orang itu,” katanya.
Pada hari naas, Sabtu (21/6/2025), Juliana bersama rombongan dalam perjalanan menuju puncak.
“Sama-sama Juliana yang paling belakang,” kata dia.
Ali mengetahui terjatuhnya Juliana dari sinar senter.
“Kejadiannya pada sabtu pagi, saya taruh tas dan mencari dia dan lihat posisi senter di tebing,” keluhnya.
Ali mengeluhkan komentar-komentar yang memojokkannya tanpa mengetahui cerita sebenarnya.
“Banyak yang tak tahu kronologinya dan asal angkat bicara, saya lihat komen-komen ada yang menyalahkan saya," ujarnya.
Atas kejadian ini, dirinya pun telah memenuhi panggilan polisi untuk memberikan keterangan.
“Sudah saya konfirmasi,” ujarnya.
Sebagian dari artikel ini telah tayang di TribunLombok.com dengan judul Penjelasan Guide Juliana Marins Soal Persiapan Mendaki Rinjani dan Detik-detik Kejadian Terjatuh
(Tribunnews.com/Chrysnha, David Adi) (TribunLombok.com/Laelatunniam, Toni Hermawan)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.