Konflik Iran Vs Israel
Doktrin Ganti Rezim dan Kegagalan Israel-Amerika
Jika tujuan akhir Israel adalah untuk memicu keruntuhan rezim, Israel mungkin telah meremehkan ketahanan historis sistem politik Iran.
TRIBUNNEWS.COM - Senator Amerika dari Partai Republik Lindsey Graham, terus menggemakan pergantian kepemimpinan di Iran.
Tokoh neokonservatif terkemuka itu mendesak Presiden Donald Trump menggulingkan rezim Ayatollah Ali Khamenei.
Kampanye serupa dikemukakan Senator Ted Cruz, para “hawkish” Amerika dan penghasut perang (warmonger) seperti John Bolton serta Mike Pompeo.
Dua tokoh ini masing-masing pernah menjadi Penasihat Keamanan dan Menteri Luar Negeri Donald Trump di periode pertama pemerintahannya.
Lindsey Graham memandang, penghancuran instalasi proyek nuklir Iran seperti yang baru saja dilakukan Trump, belumlah cukup.
Pemboman di Fordow, Natanz, dan Isfahan menurutnya hanya cara menunda, bukan melenyapkan sama sekali kapabilitas Iran.
Satu-satunya cara adalah melenyapkan kepemimpinan Iran saat ini, menggantinya dengan rezim yang patuh dan tunduk pada hegemoni Washington.
Secara samar, upaya itu dilancarkan intelijen Amerika ketika Reza Pahlevi muncul di televisi Amerika, menyerukan rakyat Iran agar memberontak Khamenei.
Reza Pahlevi adalah putra mendiang Shah Reza, penguasa terakhir Iran yang sangat pro-Amerika, saat Revolusi Islam menyapu Iran.
Di masa Shah Reza pula, Teheran memiliki hubungan sangat dekat dengan Israel. Kepemimpinan Imam Ali Khomenei sejak 1979 mengubah segalanya.
Kampanye penggulingan rezim di Iran oleh Lindsey Graham yang dikenal sangat pro-Yahudi, tentu saja sejalan dengan agenda gelap Israel.
Agresi militer ke Iran pada 13 Juni 2025 mengawali proyek rahasia di dalam wilayah Iran dijalankan mata-mata Mossad dan kolaborator lokalnya.
Secara teknis kemiliteran, apa yang dilakukan Israel hari itu menarik karena menunjukkan serangan lintas batas paling penting dalam sejarah terkini kawasan tersebut.
Lebih dari sekadar operasi yang ditargetkan terhadap silo rudal atau fasilitas nuklir, serangan tersebut mencakup pembunuhan tingkat tinggi dan serangan siber yang canggih.
Di antara perkembangan paling signifikan sejauh ini adalah pembunuhan beberapa komandan senior Iran, termasuk Komandan Angkatan Darat Mayor Jenderal Mohammad Bagheri, Komandan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Mayor Jenderal Hossein Salami, dan Kepala Pasukan Dirgantara, Mayor Jenderal Amir Ali Hajizadeh.
Pembunuhan yang ditargetkan ini merupakan pukulan paling parah bagi kepemimpinan militer Iran sejak perang 1980-1988 dengan Irak.
Namun, di balik permukaan, serangan tersebut bukan sekadar manuver militer – melainkan ekspresi doktrin politik yang telah dibuat selama beberapa dekade.
Sementara pejabat Israel secara terbuka membingkai operasi tersebut sebagai tindakan mencegah Iran memperoleh senjata nuklir, logika strategisnya yang lebih dalam tampak semakin jelas: destabilisasi – dan akhirnya keruntuhan – Republik Islam.
Selama bertahun-tahun, beberapa ahli strategi Israel dan Amerika berpendapat – terkadang secara diam-diam, terkadang secara terang-terangan –satu-satunya solusi yang bertahan lama untuk ambisi nuklir Iran adalah pergantian rezim.
Kampanye saat ini sejalan dengan tujuan jangka panjang ini, tidak hanya melalui cara militer tetapi juga melalui tekanan psikologis, politik, dan sosial di dalam Iran.
Perkembangan terkini menunjukkan operasi tersebut dirancang untuk memprovokasi tahap awal pemberontakan internal.

Buku pedoman tersebut tidak asing bagi pengamat upaya pergantian rezim di masa lalu: pembunuhan pejabat tinggi militer, perang psikologis, kampanye disinformasi, dan penargetan simbolis terhadap lembaga negara.
Di Teheran, serangan siber yang didukung Israel dan serangan presisi dilaporkan telah menghantam gedung-gedung pemerintah dan Kementerian.
Bahkan mengganggu siaran televisi nasional untuk sementara waktu – pilar utama infrastruktur komunikasi Republik Islam.
Retorika politik Israel telah menggemakan arah ini.
Dalam pengarahan tertutup dan wawancara media terpilih, para pejabat telah mengakui fasilitas nuklir bawah tanah Iran di pegunungan Zagros dan Alborz – tidak dapat dihancurkan tanpa partisipasi penuh Amerika Serikat.
Secara khusus, operasi tersebut akan memerlukan penggunaan bom GBU-57 “Massive Ordnance Penetrator”, yang hanya dapat dikirim oleh pembom strategis B-2 atau B-52 Amerika.
Dengan tidak adanya kemampuan tersebut, para pemimpin Israel tampaknya telah menyimpulkan menghentikan program nuklir Iran tidak mungkin dilakukan tanpa perubahan pemerintahan.
Konteks ini memberi makna baru pada upaya militer dan politik Israel secara bersamaan.
Setelah serangan tersebut, pesan Israel yang ditujukan kepada publik Iran semakin intensif, menggambarkan Kors Garda Revolusi Islam bukan sebagai pembela nasional tetapi sebagai penindas utama rakyat Iran.
Pesan tersebut berupaya memisahkan Republik Islam dari negara Iran dengan slogan-slogan seperti: “Ini bukan perang Iran. Ini perang rezim.”
Tokoh oposisi Iran di luar negeri – termasuk Reza Pahlavi, putra tertua Shah terakhir Iran, dan mantan pemain sepak bola Ali Karimi – menyuarakan narasi ini, menyatakan dukungan untuk serangan tersebut dan menyerukan perubahan rezim.
Namun, strategi tersebut mungkin menghasilkan efek sebaliknya.
Alih-alih memicu pemberontakan massa atau memecah belah persatuan nasional, serangan tersebut tampaknya telah mengonsolidasikan sentimen publik lintas garis politik.
Banyak warga Iran, termasuk kritikus lama rezim tersebut, telah menyatakan kemarahan atas apa yang mereka anggap sebagai serangan asing terhadap kedaulatan nasional.
Memori kolektif tentang intervensi eksternal – yang membentang dari kudeta tahun 1953 yang didukung CIA hingga Perang Iran-Irak – telah mengaktifkan kembali refleks defensif yang tertanam dalam.
Bahkan di antara para aktivis dari gerakan “Perempuan, Kehidupan, Kebebasan” – yang memicu protes nasional setelah kematian Mahsa Amini tahun 2022 dalam tahanan polisi – terlihat adanya keengganan untuk mendukung intervensi militer asing.
Saat gambar-gambar gedung yang dibom dan tentara Iran yang gugur beredar, suasana empati dan solidaritas sesaat menggantikan tuntutan pergantian rezim.
Bagi banyak orang, pembicaraan telah beralih dari reformasi politik ke persatuan dan kesatuan serta pertahanan nasional Iran.
Khususnya, beberapa tokoh masyarakat dan mantan penentang Republik Islam menyuarakan dukungan untuk Iran dan mengecam serangan Israel.
Legenda sepak bola Ali Daei menyatakan, "Saya lebih suka mati daripada menjadi pengkhianat," menolak kerja sama dengan serangan asing apa pun.
Mohsen Borhani, mantan hakim dan tahanan politik, menulis, "Saya mencium tangan semua pembela tanah air," mengacu pada Garda Revolusi dan angkatan bersenjata lainnya.
Apa yang dimulai sebagai serangan terencana terhadap target militer mungkin mencapai kebalikan dari hasil yang diinginkan.
Alih-alih melemahkan cengkeraman kekuasaan rezim, tindakan Israel memperkuatnya – dengan menggalang persatuan nasional dan membungkam perbedaan pendapat.
Upaya untuk merekayasa revolusi dari luar mungkin tidak hanya gagal – tetapi juga bisa menjadi bumerang.
Jika tujuan akhir Israel adalah untuk memicu keruntuhan rezim, Israel mungkin telah meremehkan ketahanan historis sistem politik Iran dan kekuatan pemersatu trauma nasional.
Saat bom jatuh dan jenderal tewas, tatanan sosial Iran tampaknya tidak terurai. Sebaliknya, mungkin justru sedang menyatukan kembali dirinya sendiri.
Kemartiran mereka adalah pelecut semangat bagi rakyat Iran, yang meyakini kematian di jalan perjuangan adalah mulia.
Ini adalah narasi penting dalam historis kultural dan psikologi politik Iran. Kematian bagi mereka harus diglorifikasi sebagai kemartiran atau pengorbanan dan sekaligus kekuatan.
Berbeda dengan Israel, yang harus menutupi segala kerusakan dan kematian akibat serangan Iran, karena itu berarti kelemahan.
Klaim Israel yang menghancurkan 120 peluncur rudal dan 200 unit sistem penangkis serangan uara Iran, harus menghadapi realitas sebaliknya.
Penembakan rudal secara masif oleh Iran setelah gempuran besar Israel, memperlihatkan klaim Tel Aviv itu hanya ilusi.
Bahkan terjangan rudal-rudal hipersonik Iran gagal dilumpuhkan system Kubah Besi atau Iron Dome, sistem rudal Arrow, maupun THAAD milik Amerika Serikat.
Rudal Iran semakin menyerang benar-benar dengan sedikit intersepsi. Mitos pertahanan Israel yang mahakuasa mulai terbongkar.
Bahkan Iran dianggap menggunakan taktik menguras rudal pencegat Israel, dengan stok berbagai jenis rudal pamungkas yang mereka miliki yang belum ditembakkan.
Efek serangan Iran ke Israel telah membuat guncangan besar bagi penduduk negara itu. Mereka ketakutan.
Kehancuran fisik yang ditimbulkan menyajikan pemandangan yang selama ini hanya bisa disaksikan terjadi di Jalur Gaza atau Dahiiyeh di Beirut.
Perang psikologis, yang dilancarkan Iran bersamaan operasi pembalasan mereka, mendapatkan momentum. Iran memenangi pertempuran di sektor ini.
Apa yang terjadi sesudah Amerika Serikat membom Fordow, Natanz dan Isfahan, tampaknya memberi dampak menarik saat muncul tanda-tanda deeskalasi konflik.
Meski begitu, Ayatollah Ali Khamenei menyatakan, balasan lanjutan yang semakin menyakitkan tetap akan diarahkan ke Israel.
Israel tampaknya sudah merasa cukup, dengan penghancuran Fordow, Natanz dan Isfahan oleh Amerika.
Mereka menerima kenyataan, melenyapkan kapabilitas nuklir Iran masih mustahil. Tapi mencegat, meredam, memperlambat kemampuan Iran, jadi pilihan realistis. (Setya Krisna Sumarga)
Amerika Serang Iran
Trumph Bantu Israel
perang israel vs iran
Ayatollah Ali Khamenei
Lindsey Graham
Konflik Iran Vs Israel
Iran Pamer Kekuatan Besar Tembak Rudal ke di Teluk Oman, Bikin Israel Was-was |
---|
Iran Pamer, Sebut Rudal yang Hantam Israel Hanya Rudal Lawas: Yang Baru Lebih Dahsyat |
---|
Perang 12 Hari Lawan Israel Sisakan Kekacauan di Seluruh Iran: Transportasi Lumpuh, Sinyal Kacau |
---|
Israel dan Iran Jauh dari Kata Damai, Perang Bayangan Sengit Intelijen hingga Serangan Siber |
---|
Mossad Israel Sukses Rekrut 'Orang Dalam' Nuklir Iran, Teheran Eksekusi Gantung Rouzbeh Vadi |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.