Afganistan di Bawah Taliban: Tiada Tempat bagi Keberagaman
Hak perempuan, pluralitas budaya dan agama kian dibatasi di Afganistan. Taliban hampir tidak menoleransi apa pun di luar tatanan agama…
Di bawah bayang-bayang krisis global, situasi hak asasi manusia di Afganistan semakin terlupakan.
Jutaan orang terus menderita akibat dari pelanggaran hak asasi manusia sistematis yang dilakukan oleh penguasa de facto.
Demikian hasil laporan Misi Bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Afganistan (UNAMA) terkini.
UNAMA mendapat mandat misi politik dari Dewan Keamanan PBB, yang tugasnya antara lain memantau situasi hak asasi manusia di negara tersebut dan melaporkannya secara berkala.
Dalam laporan terkini mengenai situasi pada kuartal pertama tahun 2025, periode Januari hingga Maret, UNAMA tidak hanya mendokumentasikan kasus kekerasan berbasis gender dan hukuman cambuk di depan umum.
Tekanan terhadap salah satu kelompok minoritas agama terakhir, Ismailiyah, juga meningkat.
Kaum Ismailiyah termasuk dalam aliran Syiah dan sebagian besar tinggal di provinsi-provinsi utara seperti Badakhshan, Baghlan, dan Koridor Wakhan.
Di Badakhshan, anggota masyarakat dipaksa pindah agama di bawah ancaman kekerasan dan pembunuhan.
"Hanya jika mereka berpindah agama ke Islam Sunni di bawah paksaan, barulah mereka diterima sebagai muslim," kata Profesor Yaqoob Yasna kepada DW.
Yasna, yang juga seorang Ismaili, dituduh melakukan penistaan agama setelah Taliban mengambil alih kekuasaan karena ia menganjurkan pencerahan dan toleransi dalam masyarakat.
Dia dipaksa melepaskan jabatan profesornya di universitas dan harus meninggalkan negara itu.
Kekerasan terhadap minoritas di Afganistan
Yasna menekankan, toleransi terhadap minoritas Ismailiyah di masyarakat terus menurun.
Bahkan sebelum Taliban mengambil alih kekuasaan, intoleransi ini sudah terasa, tetapi sistem politik saat itu setidaknya melindungi hak-hak sipil mereka.
"Kini, saat hak-hak mereka dilanggar, mereka tidak tahu harus meminta bantuan siapa. Anak-anak mereka dipaksa pindah agama ke Islam Sunni," ujar Yasna, seraya menambahkan: "Di bawah kekuasaan Taliban, hanya satu agama yang dianggap sah.
Apa pun yang berbeda dari interpretasi mereka tentang Islam ditolak, sehingga menciptakan tempat berkembang biaknya kekerasan terhadap minoritas agama."
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.