Kisah para remaja perempuan Afganistan yang jadi penenun karpet akibat dilarang bersekolah oleh Taliban
Sekitar 1,5 juta warga Afganistan bekerja sebagai penenun karpet, 90% di antaranya adalah perempuan. Para remaja perempuan masuk ke…
Di cabang lain, 126 perempuan muda bekerja dengan 23 alat tenun.
Salehe Hassani (19) dulunya adalah seorang murid yang berdedikasi, bersekolah hingga usia 17. Ia menghabiskan dua tahun untuk mengajar dan sempat menekuni dunia jurnalistik selama tiga bulan.
"Kami para gadis tidak lagi memiliki kesempatan untuk belajar," katanya sambil tersenyum tipis.
"Keadaan telah merenggut hal itu dari kami, jadi kami beralih ke bengkel," kata Salehe.
Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Taliban mencatat bahwa pada Januari-Juni 2024, Afganistan mengespor lebih dari 2,4 juta kilogram karpet, senilai $8,7 juta (Rp146 miliar). Tujuan ekspor karpet itu adalah Pakistan, India, Austria, dan Amerika Serikat.
Namun, di balik ledakan ekspor ini terdapat ironi.
Para penenun karpet mengatakan bahwa mereka mendapatkan sekitar $27 (Rp453.000) untuk setiap meter persegi karpet. Biasanya, mereka membutuhkan waktu sekitar satu bulan untuk memproduksinya.
Itu berarti upah mereka kurang dari satu dolar per hari, meskipun bekerja dalam waktu yang panjang dan melelahkan, yang bisa mencapai 10 atau 12 jam.
Nisar Ahmad Hassieni, kepala perusahaan Elmak Baft, berkata bahwa dia membayar karyawannya antara $39 (Rp655.000) dan $42 (Rp706.000) per meter persegi.
Nisar juga membuat klaim bahwa mereka dibayar setiap dua minggu, dengan hitungan rata-rata jam kerja delapan jam per hari.
Nisar berkata, setelah Taliban berkuasa, institusinya membuat misi untuk membantu warga yang mengalami ketertinggalan akibat penutupan sekolah-sekolah.
"Kami mendirikan tiga lokakarya untuk menenun karpet dan memintal wol," katanya.
"Sekitar 50-60?ri karpet-karpet ini diekspor ke Pakistan, sementara sisanya dikirim ke China, Amerika Serikat, Turki, Prancis, dan Rusia untuk memenuhi permintaan pelanggan."
Di sisi lain perekonomian Afghanistan lesu. PBB mencatat Produk Domestik Bruto negara itu menyusut sebesar 29% sejak tahun 2020, seiring pembatasan terhadap perempuan yang menelan biaya hingga $1 miliar (Rp16 triliun).
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.