Kamis, 2 Oktober 2025

Trump Terapkan Tarif Timbal Balik

China Bisa Jatuhkan Ekonomi AS, Balas Dendam Tarif Trump Pakai Utang Rp12.000 Triliun

Di tengah gelombang tarif tinggi dari Presiden Donald Trump, China menyimpan “senjata ekonomi” mematikan: utang AS senilai ribuan triliun rupiah.

Instagram Xi Jinping
PERTEMUAN DI BALAI AGUNG RAKYAT - Presiden China Xi Jinping menggelar pertemuan darurat dengan para pemimpin bisnis swasta terkemuka di negaranya, Senin (17/2/2025). Beijing menuduh AS melanggar aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). 

TRIBUNNEWS.COM - Ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali memanas di tengah perang dagang yang makin meruncing.

Presiden AS Donald Trump memberlakukan tarif hingga 145 persen terhadap barang-barang impor dari China pada 2024.

Sebagai balasan, Tiongkok mengenakan pajak sebesar 125 persen atas barang dari AS.

Di sisi lain, Trump menangguhkan sebagian tarif untuk banyak negara selama 90 hari.

China tidak termasuk dalam daftar itu sehingga memperkeruh hubungan antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia.

Menurut data Departemen Keuangan AS, tarif ini disebut menghasilkan 200 juta dolar Amerika per hari, meskipun Trump mengklaim nilainya mencapai 2 miliar dolar Amerika per hari.

China pun tidak tinggal diam.

Awal pekan ini, Kementerian Perdagangan China menegaskan pihaknya siap "berjuang sampai akhir".

Beijing menuduh AS melanggar aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Salah satu senjata potensial China dalam perang dagang ini adalah utang Amerika.

Menurut Departemen Keuangan AS, China adalah pemegang surat utang pemerintah AS terbesar kedua, setelah Jepang, dengan nilai mencapai 760 miliar dolar Amerika.

Jika digabung dengan kepemilikan lewat bank pemerintah dan domestik, angka ini bisa mencapai 3 triliun dolar Amerika.

Secara teori, Beijing bisa menjual obligasi pemerintah AS dalam jumlah besar untuk mendevaluasi dolar, sehingga memberi tekanan besar terhadap perekonomian AS.

Baca juga: Trump Mulai Investigasi Impor Obat dan Chip, Tarif Baru Mengintai

"Ketika hambatan tarif makin tinggi, satu-satunya jalan eskalasi adalah menggunakan alat pembalasan seperti menjual utang AS di bawah harga pasar," kata Kepala Kebijakan dan Advokasi di Groundwork Collaborative, Alex Jacquez, seperti dikutip dari Al Jazeera.

Langkah itu juga berisiko tinggi bagi China sendiri.

Penjualan besar-besaran obligasi akan menurunkan nilai dolar, tapi juga memperkuat yuan, mata uang China.

Hal ini bisa merugikan ekspor China karena barang-barang buatan mereka menjadi lebih mahal di pasar global.

"China tak ingin nilai mata uangnya terlalu tinggi karena dolar adalah standar perdagangan dunia," tambah Jacquez.

Di sisi lain, jika AS menerbitkan lebih banyak surat utang, dan China tetap membelinya, itu juga bisa melemahkan struktur ekonomi AS.

"Jumlah utang yang berlebih akan melemahkan dolar," kata James Mohs, profesor di Universitas New Haven.

Tetap saja, jika China benar-benar menjual obligasi, Federal Reserve (The Fed) dapat mengambil langkah penyeimbang.

Langkah yang dimaksud adalah quantitative easing (QE), di mana The Fed membeli obligasi pemerintah dalam jumlah besar untuk menurunkan suku bunga dan merangsang perekonomian.

Kebijakan ini pernah digunakan saat puncak pandemi COVID-19.

Namun saat ini, kebijakan The Fed tidak pasti.

Mereka telah memberi sinyal bahwa pemotongan suku bunga tidak akan dilakukan dalam waktu dekat.

Morgan Stanley memperkirakan pemotongan suku bunga baru akan terjadi menjelang akhir tahun.

"Sulit bagi The Fed untuk merencanakan langkah berikutnya, apalagi jika presiden sendiri tampak tidak konsisten dengan kebijakan hariannya," ujar Jacquez.

Dampak perang dagang ini juga mulai dirasakan masyarakat.

Baca juga: Trump Salahkan Putin atas Agresi Rusia, Umumkan Proposal Baru untuk Akhiri Perang

Laporan Sentimen Konsumen Universitas Michigan yang dirilis pagi ini menunjukkan penurunan 11 persen dari bulan sebelumnya, mencerminkan kekhawatiran akan inflasi dan pendapatan pribadi.

Data serupa dari The Conference Board juga menunjukkan bahwa kepercayaan konsumen AS kini berada di titik terendah dalam 12 tahun.

"Jika masyarakat terus membaca berita negatif dan ancaman soal ‘opsi nuklir’ dari China, mereka akan mengurangi pengeluaran," kata Jacquez.

Trump Selidiki Tarif Obat dan Chip, Industri Khawatir

Dikutip dari Reuters, pemerintahan Trump telah meluncurkan investigasi terkait impor produk farmasi dan semikonduktor untuk kemungkinan pengenaan tarif baru, dengan tujuan melindungi keamanan nasional AS.

Pengumuman tersebut dilakukan pada Minggu (14/4/2025) dan akan dipublikasikan penuh pada Rabu (16/4/2025).

Investigasi ini dilakukan berdasarkan Bagian 232 Undang-Undang Perluasan Perdagangan tahun 1962, yang memungkinkan tarif diterapkan jika sektor tertentu membahayakan keamanan nasional.

Trump berencana mengenakan tarif terpisah untuk obat dan semikonduktor, setelah sebelumnya mengenakan tarif 10 persen pada produk impor lainnya.

Sektor semikonduktor sangat bergantung pada Taiwan.

Trump berharap langkah tarif dapat mendorong relokasi industri semikonduktor ke AS, meskipun beberapa perusahaan mungkin mendapatkan fleksibilitas.

Langkah ini memicu reaksi keras dari industri, terutama produsen obat generik yang khawatir tarif akan memperburuk kelangkaan obat dan menghambat akses masyarakat terhadap pengobatan yang terjangkau.

Industri juga khawatir bahwa relokasi manufaktur akan memakan waktu bertahun-tahun.

Produsen India, yang memasok hampir setengah dari obat generik di AS, menyatakan bahwa tarif tinggi bisa menunda investasi mereka di AS.

(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved