Konflik Palestina Vs Israel
Sosok Mahmoud Khalil, Keturunan Palestina Lulusan Universitas Columbia yang Dideportasi Trump
Pemerintahan Trump bakal mendeportasi Mahmoud Khalil, lulusan Universitas Columbia keturunan Palestina pernah memimpin protes perang Israel di Gaza
Baru-baru ini, ia mengelola Program Chevening Suriah untuk Kedutaan Besar Inggris di Beirut, yang menawarkan beasiswa untuk belajar di Inggris, menurut biografinya di situs web Masyarakat untuk Pembangunan Internasional.
Kantor Luar Negeri Inggris mengatakan Khalil berhenti bekerja di sana lebih dari dua tahun lalu.
Khalil pindah ke AS pada tahun 2022, di mana ia meraih gelar master di Sekolah Hubungan Internasional dan Publik Universitas Columbia.
Sejak saat itu, ia telah menikahi seorang wanita Amerika, yang sedang hamil delapan bulan, dan awalnya ia sendiri menghadapi ancaman penangkapan, menurut pengacaranya.
Peran Dalam Protes Mahasiswa
Peran Khalil dalam protes di Universitas Columbia tahun 2024 menempatkannya di mata publik.
Di garis depan negosiasi, ia berperan sebagai penengah antara pejabat universitas dan aktivis serta mahasiswa yang menghadiri protes tersebut.
Aktivis yang mendukung Israel menuduh Khalil sebagai pemimpin Columbia University Apartheid Divest (Cuad), sebuah kelompok mahasiswa yang menuntut, antara lain, universitas untuk menarik diri dari hubungan keuangannya dengan Israel dan gencatan senjata di Gaza.
Khalil membantah bahwa ia memimpin kelompok tersebut, dan mengatakan kepada Associated Press (AP) bahwa ia hanya bertugas sebagai juru bicara para pengunjuk rasa dan sebagai mediator dengan pihak universitas.
Setelah penangkapan Khalil, Departemen Keamanan Dalam Negeri menuduhnya "memimpin kegiatan yang berkaitan dengan Hamas" tetapi tidak memberikan rincian lebih lanjut.
Sempat Diskors
Di tengah protes awal tahun lalu, Khalil sempat diskors dari universitas setelah polisi menyerbu kampus menyusul pendudukan sebuah gedung.
Saat itu, ia mengatakan kepada BBC bahwa saat ia bertindak sebagai negosiator protes utama dengan pejabat Columbia, ia tidak berpartisipasi secara langsung dalam perkemahan mahasiswa karena ia khawatir hal itu dapat memengaruhi visa pelajarnya.
Tidak jelas kapan ia memperoleh kartu hijaunya, yang memberikan status penduduk tetap.
"[Mereka mengatakan] bahwa setelah meninjau bukti, mereka tidak memiliki bukti untuk menskors (saya)," katanya dalam sebuah wawancara di awal Mei. "Itu menunjukkan betapa acaknya skorsing itu... mereka melakukannya secara acak, dan tanpa proses hukum."
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.