MK tolak hapus kolom agama dari KTP – Bagaimana rasanya hidup sebagai agnostik dan ateis di Indonesia?
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak menghapus kolom agama di KTP dalam putusan terbarunya, dan menegaskan bahwa setiap warga negara harus…
Bagi Guruh, kebebasan semestinya tak memaksa seorang warga negara untuk memilih di antara opsi yang diakui oleh pemerintah.
Persoalan-persoalan itu pula yang dijabarkan oleh Raymond Kamil dan Indra Syahputra ketika memohon agar MK menghapuskan kolom agama.
Hal lainnya, orang yang tidak beragama terpaksa mengikuti pendidikan keagamaan saat bersekolah atau kuliah.
Kedua penggugat juga berargumen bahwa tidak memeluk agama dan kepercayaan bukan pelanggaran hukum atau pidana. Sebabnya, tidak ada aturan perundang-undangan yang secara tegas melarang orang tidak memeluk agama atau kepercayaan.
Walaupun masih ada pasal di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru yang mengatur bahwa menyebarkan ateisme adalah tindak pidana.
Apa pertimbangan MK menolaknya?
Dalam pertimbangan hukumnya, hakim konstitusi mengatakan bahwa setiap warga negara "harus" menyatakan memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Itu disebut sebagai "keniscayaan sebagaimana diharapkan oleh Pancasila dan diamanatkan oleh konstitusi".
"Pembatasan yang demikian merupakan pembatasan yang proporsional dan tidak diterapkan secara opresif dan sewenang-wenang," ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat dilansir Kompas.com.
Arief kemudian mengatakan bahwa setiap warga negara hanya diwajibkan menyebut agama dan kepercayaannya untuk dicatat dan dibubuhkan dalam data kependudukan tanpa ada kewajiban hukum lain yang dibebankan oleh negara.
Perihal UU Perkawinan yang tidak mengakomodasi hak warga yang tidak beragama, MK berpandangan bahwa perkawinan tidak lepas dari prinsip dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
"Dengan tidak adanya ruang bagi warga negara Indonesia untuk memilih tidak menganut agama atau tidak menganut kepercayaan kepada Tuhan YME, maka norma hukum positif yang hanya memberikan pengesahan terhadap perkawinan yang dilakukan menurut norma agama dan kepercayaan masing-masing bukanlah norma yang menimbulkan diskriminatif," kata Arief.
Setara: Kolom agama jadi alat diskriminasi
Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan mengatakan kolom agama pada akhirnya justru menjadi alat diskriminasi dan alat persekusi terhadap warga negara. Jadi, urusan sipil dan agama semestinya dipisahkan.
Sulitnya mengesahkan perkawinan hanyalah satu contoh. Kalau ditelusuri lebih lanjut, Halili mengatakan implikasinya menjadi sangat panjang mengingat ada banyak urusan yang berkaitan dengan catatan sipil.
"Layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, asuransi, perbankan, bahkan kredit permodalan untuk usaha itu kan menggunakan catatan sipil," kata Halili.
"Jadi ketika kolom agama menjadi keharusan, kalau dia tidak memilih satu di antara tujuh itu, dia tidak akan punya KTP. Dia tidak akan diakui sebagai warga negara yang berhak mendapatkan layanan dasar. Itu pelanggaran serius," kata Halili.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.