Kamis, 2 Oktober 2025
Deutsche Welle

Para Desertir dan Menurunnya Moral Tentara Myanmar

Junta militer di Myanmar semakin kehilangan kekuasaan. Kian banyak tentara yang meninggalkan angkatan bersenjata. Para desertir melaporkan…

Deutsche Welle
Para Desertir dan Menurunnya Moral Tentara Myanmar 

Zeya, berusia pertengahan 40-an, mengungsi di sebuah rumah persembunyian. Dengan kemeja kasual dan celana pendek, dia terlihat seperti penduduk lokal pada umumnya. Namun sikap disiplin dan jawaban yang singkat dan ringkas memberikan gambaran tentang masa lalunya.

Dia bertugas di militer Myanmar selama 25 tahun. Pertama sebagai prajurit, kemudian sebagai perwira di pasukan telekomunikasi, ia bertindak sebagai penghubung antara garis depan dan pimpinan angkatan darat.

Zeya ditugaskan ke Negara Bagian Shan bagian utara selama "Operasi 1027" untuk menghentikan serangan pemberontak atas perintah junta. Namun operasi tersebut berakhir dengan bencana.

Banyak rekannya tewas atau ditangkap, sementara prajurit di barisan belakang tidak dapat mengetahui kekacauan di zona pertempuran, ungkap Zeya. "Mereka tidak tahu apa yang terjadi di garis depan. Mereka tidak diberi akses terhadap informasi tersebut.”

Pimpinan militer berusaha memanipulasi arus informasi di negara tersebut dengan menggunakan segala cara, ujarnya. Ketika kelompok oposisi menembak jatuh sebuah pesawat tempur, "kerusakan teknis" dilaporkan sebagai penyebabnya.

Kekalahan-kekalahan dan hilangnya wilayah ditutup-tutupi sebagai "kemunduran taktis sementara" atau dianggap sebagai kebohongan. Fakta bahwa ribuan tentara rezim telah tewas sejak dimulainya serangan pemberontak masih dirahasiakan.

Anggota keluarga militer dijadikan jaminan

Untuk mencegah desersi, militer juga menahan kerabat tentara. "Keluarga tentara yang membangkang akan ditekan, diancam, dan harta benda mereka disita," kata Naung Yoe dari organisasi bantuan People's Goal. Selain itu, keluarga tersebut biasanya bergantung pada pembayaran pensiun, yang tidak akan lagi dibayarkan saat tentara meninggalkan militer.

Hal pertama yang dilakukan Zeya adalah menyembunyikan putri kecilnya bersama ibu mertuanya, serta memberikan alamat palsu kepada komando militer. Karena kendali atasannya ada di mana-mana. "Mereka mengetahui apa yang kita posting di Facebook, nomor ponsel apa yang kita pakai, akun email kita, dan lokasi ponsel kita lewat pelacakan GPS," jelasnya.

Dia mengatur ulang ponselnya dan menukar kartu SIM dengan yang baru dan rahasia. Sebagai perwira karir, dia mengetahui pangkalan dan pos pemeriksaan di wilayah metropolitan dengan sangat baik. Pelariannya pun menjadi sebuah tantangan. "Untuk melintasi ibu kota Naypyidaw, saya harus menempuh tujuh rute berbeda dengan sepeda motor."

Ia melewati banyak desa tempat kelompok perlawanan mendapat dukungan luas dari masyarakat. "Di sana saya meminta nasihat penduduk setempat tentang bagaimana saya bisa melewati pos pemeriksaan berikutnya." Akhirnya dia mencapai wilayah aman dan berlindung di rumah persembunyian.

Dari sini, dia ingin meyakinkan mantan rekannya untuk bergabung dalam perlawanan terhadap rezim. Lebih dari separuh dari mereka bersedia untuk meninggalkan militer, katanya. "Tetapi mereka ingin lihat situasi saya terlebih dahulu, untuk melihat apakah saya baik-baik saja atau tidak."

(ae/hp)

Sumber: Deutsche Welle
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved