Hotline pencegahan bunuh diri ‘belum memadai’ dan rentan ‘bikin kapok’ – ‘Masa orang mau bunuh diri dijawab jutek’
Ketersediaan layanan hotline pencegahan bunuh diri di Indonesia dinilai “masih belum memadai”. Sejumlah penyintas menceritakan…
Pada 2010, Kementerian Kesehatan pernah meluncurkan hotline pencegahan bunuh diri melalui nomor 500-454. Namun pada 2014, layanan itu ditutup dengan alasan jumlah peneleponnya menurun.
Into The Light juga pernah menyediakan layanan pencegahan bunuh diri melalui email. Pada 2018, layanan itu juga ditutup.
Ketika pandemi Covid-19 yang melanda pada 2020 menyebabkan tingginya tekanan psikologi bagi masyarakat, pemerintah pun meluncurkan layanan SEJIWA melalui nomor 119 ext 8 yang juga dapat dimanfaatkan sebagai saluran pencegahan bunuh diri. 119 sendiri pada dasarnya merupakan layanan kedaruratan yang diluncurkan sejak 2016.
Sayangnya menurut Lulu, layanan tersebut tidak tersedia selama 24 jam.
Ketika dikonfirmasi, Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa mereka sudah beroperasi 24 jam sejak 19 Maret 2024.
Namun ketika BBC News Indonesia mencoba menghubungi saluran tersebut pada Kamis (04/04) pukul 00.05 WIB, respons yang didapat adalah operator sedang sibuk melayani. Pada percobaan kedua, sambungan teleponnya langsung terputus.
Padahal menurut studi yang dilakukan Sandersan Onie, peneliti kesehatan mental dari Black Dog Institute—lembaga non-profit yang didedikasikan untuk memahami, mencegah dan mengobati penyakit mental—kebanyakan orang mencari pertolongan di atas pukul 12 malam.
Kepala Tim Kerja National Command Center dan Public Safety Center 119 Kementerian Kesehatan, Hadijah Pandita, mengatakan bahwa pemerintah “berusaha memberi perhatian pada pelayanan kesehatan jiwa ini dengan konsultasi 24 jam melibatkan psikolog dan psikiater”.
“Kalau dikatakan ini belum cukup membantu, itu kami perlu evaluasi lebih lanjut. Apakah mungkin sosialisasi nomor ini perlu lebih masif dilakukan, kemudian akses masyarakat yang mungkin belum mengetahui terkait ini, atau terkait jaringannya,” kata Dita.
Sejauh ini, Dita mengatakan jumlah telepon yang masuk ke layanan 119 ext 8 mencapai lebih dari 1.000. Tetapi sekitar 50% di antaranya adalah “prank call” atau sekadar coba-coba.
Sepanjang 2021, Dita mengatakan lebih dari 212.000 telepon masuk. Lalu pada 2022 ada 114.000 telepon masuk. Sementara jumlah operator yang bertugas ada sekitar delapan hingga 10 orang per sif kerja. Dalam sehari, terdapat tiga sif kerja.
Dia mengakui bahwa mereka cukup kewalahan menghadapi banyaknya penelepon ini.
Para operator itu yang kemudian akan menyambungkan penelepon kepada konselor yang memiliki kapasitas untuk menangani masalah kesehatan jiwa.
Sebagai catatan, tidak semua telepon yang masuk datang dari orang-orang yang memiliki masalah kejiwaan atau berpikiran untuk bunuh diri. Banyak keluhan yang masuk terkait dengan gangguan kecemasan dan ketakutan dengan keramaian.
Salah satu konselor juga menceritakan kepada BBC News Indonesia bagaimana dia merespons keluhan dari orang yang berpikiran untuk bunuh diri.
“Saya cari tahu dulu apa yang menyebabkan dia ingin bunuh diri. Misalnya ada contoh dia terlilit utang karena judi online,” kata konselor tersebut.
“Jadi saya menyarankan untuk beraktivitas supaya mengurangi pikiran itu, karena dia terpikir itu ketika sedang sendiri. Ketika dia berkumpul dengan teman-temannya, tidak terbesit di pikirannya untuk bunuh diri,” sambungnya.
Inisiatif relawan menjawab kebutuhan yang ‘sangat tinggi’
Pada 2021, sekelompok relawan di Bali berinisiatif menggagas saluran pencegahan bunuh diri karena menyadari ada banyak orang yang membutuhkan bantuan. Apalagi kala itu adalah masa pandemi.
Awalnya mereka hanya menyediakan dua ponsel. Suatu waktu, informasi soal layanan bernama Love Inside Suicide Awareness (LISA) itu viral di media sosial.
“Yang menghubungi kami sampai 10.000 orang dalam satu hari, sampai ponselnya hang. Operator kami kewalahan, smartphone-nya sampai tidak bisa digunakan. Akhirnya layanan dihentikan sementara,” kata Ani Yulinda kepada BBC News Indonesia.
Menurut Ani, layanan itu sebenarnya ditujukan untuk masyarakat di Bali. Tetapi ternyata banyak pula yang mengakses dari berbagai daerah lain di Indonesia.
Pada titik itu, Ani mengatakan mereka menyadari banyak yang membutuhkan saluran pencegahan bunuh diri.
“Di luar sana kebutuhannya sangat tinggi, apalagi masalah kesehatan mental itu masih menjadi stigma. Apalagi bagi teman-teman yang masih kesulitan dan merasa kemana harus minta bantuan?” ujar Ani.
“Kalau mau ke profesional, salah satu kendalanya adalah keterbatasan dana. Jadi mereka paling tidak perlu layanan yang ada pada saat mereka mengalami krisis, mereka tahu harus ke mana.”
Layanan itu kemudian baru dibuka kembali pada Juni 2023 dengan nama BISA Helpline. Mereka kini memiliki 43 relawan operator yang dilatih untuk menghadapi orang-orang yang mengalami krisis.
Ani mengatakan rata-rata ada 300 hingga 500 pesan singkat yang mereka terima per minggu melalui fitur Whatsapp.
Beberapa di antaranya ada yang menyatakan siap untuk mengakhiri hidupnya, bahkan sudah menyakiti diri sendiri.
Namun ketika mereka menghubungi saluran ini, tanpa sadar mereka berupaya mencari pertolongan. Orang-orang ini, kata Ani, bukan ingin mengakhiri hidupnya, tetapi ingin mengakhiri rasa sakitnya.
Oleh sebab itu, kesadaran mereka untuk mau mencari pertolongan adalah langkah awal yang baik dan perlu disambut oleh ketersediaan saluran yang aman, tempat mereka bisa bercerita dengan leluasa tanpa khawatir dihakimi dan distigma.
“Inilah yang kami sediakan. Ini adalah ruang aman untuk siapa saja, sifatnya inklusif, dan terjaga kerahasiaannya,” tutur Ani.
Sayangnya, Ani mengatakan layanan yang mereka bisa berikan masih terbatas. Sejauh ini, mereka hanya bisa memberi bantuan secara daring.
“Kami tidak menjangkau orang secara fisik, protokol kami hanya menjadi pendengar yang baik. Jika mereka memerlukan [jangkauan fisik], di website BISA Helpline kami punya informasi dan layanan terkait pertolongan pertama,” jelas Ani.
Itu karena keterbatasan anggaran, sumber daya, dan wewenang yang mereka miliki. Operator mereka adalah relawan yang juga memiliki pekerjaan lain.
Bagaimana pun, BISA Helpline bukanlah produk kebijakan pemerintah. Sejak awal, mereka hadir untuk mengisi minimnya ruang aman yang dapat diakses oleh orang-orang yang berpikiran untuk bunuh diri.
Menurut Lulu dari Into The Light, keterbatasan dana dan sumber daya itulah yang membuat inisiatif LSM untuk menyediakan saluran pencegahan diri sulit bertahan. Banyak dari mereka bertahan dengan donasi sukarelawan yang tidak tetap.
“Padahal dari yang kami amat di beberapa negara, selain niat dari sukarelawan dan donasi yang tinggi, pendanaan mereka juga dibantu oleh pemerintah. Itu membuat pengelolaan SDM dan promosi layanan mereka menjadi lebih mudah,” papar Lulu.
Selain itu, perlu pula dukungan dari layanan penopang lainnya.
“Crisis center juga selayaknya didukung oleh sistem pelayanan kesehatan dan masyarakat penopang di sekitarnya, misalnya kepolisian. Ini penting sebagai penopang untuk sebagai langkah tindak lanjut saat seseorang mengalami krisis,” ujar dia.
Sayangnya, Lulu mengatakan belum ada kebijakan soal pendanaan dan sistem pendukung hotline pencegahan bunuh diri di Indonesia.
Kemenkes: ‘Kami yakin sekian banyak penelepon bisa disambungkan’
Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan Vensya Sitohang, dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, membantah bahwa layanan 119 ext 8 tidak bisa dihubungi.
“Kalau disampaikan itu tidak bisa dihubungi itu tidak ya. Bahkan per hari ada ribuan [telepon yang masuk], tapi nanti dari ribuan ini berapa banyak sih yang sebenarnya betul-betul membutuhkan untuk fokus di kesehatan jiwa. Kalau tidak salah, itu hanya dua sampai tiga persen,” kata Vensya.
Menurut Vensya, Kementerian Kesehatan sudah mulai membenahi pelayanan ini seiring meningkatnya kebutuhan untuk pertolongan pertama kedaruratan medis.
“Untuk sekarang sudah kami aktifkan kembali. Kemarin mungkin ada masalah jaringan, ada masalah SDM dan sebagainya, kemudian saat ini itu cukup bisa diakses seharusnya karena penjadwalan kali sudah semakin rapi, ada psikolog klinis yang terjadwal, dan juga psikiater yang bisa dihubungkan ketika seseorang itu membutuhkan pelayanan kesehatan yang lebih spesialistik,” papar Vensya.
“Tentu kami sangat paham bagaimana sebuah jaringan komunikasi itu kalau dihubungi sangat banyak faktor yang menyebabkan itu tidak terhubung.”
“Tapi saat ini kami sangat yakin sekian banyak penelepon itu bisa disambungkan dan dikomunikasikan, dan berharap itu bisa tertangani permasalahan kesehatan jiwanya,” sambungnya.
Ke depan, Vensya mengatakan pemerintah berencana mengintegrasikan layanan SEJIWA dengan layanan penopang lainnya untuk bisa menangani masalah kesehatan jiwa.
Semua rumah sakit akan dipersiapkan untuk hal ini.
“ID penelepon, pencari bantuan bisa kita ketahui keberadaannya di mana, bisa terfasilitasi dan tertolong untuk kondisi kesehatan jiwanya, tentunya harus bisa dihubungkan dengan fasilitas pelayanan yang ada di daerah si penelepon,” ujar Vensya.
Untuk masalah kedaruratan, Kementerian Kesehatan juga menggagas kerja sama dengan Pemadam Kebakaran (Damkar) hingga Basarnas.
“Saat ini kami sedang dalam tahap membuat MoU dengan pihak-pihak yang potensial untuk bisa membantu jika itu diperlukan,” kata dia.
Seberapa efektif hotline dapat mencegah bunuh diri?
Sandersan Onie dari Black Dog Institute Australia mengatakan belum ada data “berkualitas” yang membuktikan bahwa angka bunuh diri menurun dengan ketersediaan hotline pencegahan bunuh diri. Meskipun dia menggarisbawahi bahwa bukan berarti ketersediaan hotline tidak penting.
Oleh sebab itu, dia mengatakan sulit untuk menakar seberapa efektif ketersediaan hotline berpengaruh pada upaya pencegahan bunuh diri.
Apalagi pada kenyataannya, banyak hotline yang tersedia justru tidak sesuai standar; petugas tidak mendapatkan pelatihan yang baik, tidak beroperasi 24 jam, atau kekurangan sumber daya.
“Dengan kita menyediakan hotline dan sayangnya di seluruh dunia banyak hotline yang pelatihannya kurang bagus. Bahkan di negara maju, mungkin di satu titik orang bisa telepon untuk cari bantuan,tapi yang terjadi adalah banyak orang malah jadi kapok,” kata Sandy.
“Ke depannya mereka malah tidak cari bantuan yang tidak membantu,” tuturnya.
Dia juga merujuk pada riset bertajuk Contact with primary and mental health care prior to suicide pada 2019, bahwa 50-60% orang yang terpikir untuk bunuh diri tidak mencari bantuan profesional.
Menurutnya, butuh sumber daya dan komitmen yang besar untuk membangun hotline yang berkelanjutan.
Ketersediaan hotline, kata Sandy, bak dua sisi mata pedang. Di satu sisi penting dan dia memahami ada niat baik untuk menjawab kebutuhan itu. Di sisi lain, pelayanan yang tidak sesuai standar justru dapat berdampak buruk.
“Dalam soal medis, niat baik itu tidak cukup. Siapa pun yang menyediakan layanan medis termasuk hotline, menangani situasi yang sifatnya medis, itu sampai saat ini belum ada akuntabilitasnya,” kata Sandy.
Seperti apa hotline bunuh diri yang ideal?
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa ketersediaan saluran krisis untuk pencegahan bunuh diri itu penting, sebab banyak orang yang terpikir bunuh diri tidak mencari pertolongan tatap muka lewat fasilitas kesehatan atau keluarga dan teman-temannya.
Ada pula yang sudah mendapat penanganan medis untuk masalah kesehatan mental mereka, namun tidak pernah mengutarakan pikirannya untuk bunuh diri.
Oleh sebab itu menurut WHO, keberadaan saluran pencegahan bunuh diri yang konfidensial dapat mengatasi stigma yang dapat mencegah mereka mencari pertolongan secara tatap muka.
Lalu seperti apa saluran pencegahan bunuh diri yang ideal?
Berdasarkan pedoman WHO, syarat wajib saluran pencegahan bunuh diri adalah menawarkan bantuan yang tidak menghakimi, berempati, dan menghargai siapapun peneleponnya.
Saluran ini juga harus bisa diakses secara gratis, dan sebaiknya beroperasi 24 jam.
Para operatornya terdiri dari relawan terlatih hingga profesional di bidang kesehatan mental.
Layanan ini juga harus menjaga kerahasiaan informasinya, kecuali pada situasi darurat yang menyangkut keselamatan si penelepon.
Operator juga harus bisa memberikan dukungan emosional, tanpa mendiskriminasi si penelepon berdasarkan nilai-nilai agama, politik, maupun ideologi lainnya.
--
Jika Anda, sahabat, atau kerabat memiliki kecenderungan bunuh diri, segera hubungi psikolog, psikiater atau dokter kesehatan jiwa di Puskesmas atau rumah sakit terdekat.
Anda dapat mengakses situs Emotional Health For All jika membutuhkan bantuan.
Layanan dari Kementerian Kesehatan dapat Anda hubungi melalui nomor 119 ext 8. Anda juga dapat menghubungi layanan 24 jam BISA Helpline melalui nomor WhatsApp 08113855472.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.