Jumat, 3 Oktober 2025
Deutsche Welle

Prancis Terdepan Perangi Disinformasi Rusia

Perancis tergolong berhasil melawan manipulasi dan disinformasi online yang marak sejak invasi Rusia di Ukraina. Pengalaman tersebut…

Deutsche Welle
Prancis Terdepan Perangi Disinformasi Rusia 

"Kami membangun ketahanan dengan menyadarkan masyarakat bahwa serangan semacam itu memang ada.”

Prancis adalah salah satu pionir gerakan anti-disinformasi di Eropa, tegas Jiore Craig, peneliti senior di wadah pemikir Institute for Strategic Dialogue di London. Ahli spesialis integritas digital ini telah menangani manipulasi pemilu di seluruh dunia sejak tahun 2013.

"Sejak pemilu AS dan referendum Brexit pada tahun 2016, kami mengetahui bahwa informasi palsu sengaja disebar untuk melemahkan demokrasi,” katanya kepada DW.

"Verifikasi fakta saja tidak cukup”

"Pemilihan parlemen Uni Eropa tahun 2019 dan Corona telah menunjukkan bahwa pemeriksaan fakta saja tidak cukup. Kita memerlukan pendekatan sistemik yang menunjukkan siapa yang menyebarkan berita palsu di jaringan mana. Prancis adalah salah satu negara pertama yang menerapkan konsep ini.”

Bagi David Colon, profesor sejarah di Sciences Po University di Paris, persoalannya bukan lagi soal atribut "benar" atau "salah".

"Para peretas berusaha menimbulkan kebingungan seluas mungkin dan merusak kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga demokrasi kita,” yakinnya.

Colon adalah salah satu pakar manipulasi informasi di Perancis.

Baginya, invasi Rusia ke Ukraina merupakan titik balik. Namun serangan peretas, yang sebagian besar datang dari pihak Rusia, sudah dimulai sebelumnya.

"Pada bulan Februari 2004, Dmitri Medvedev, calon presiden Rusia, mengatakan bahwa Kremlin ingin mendukung partai-partai anti-sistem di Eropa.

Menurut Rusia, di Prancis adalah partai ekstrem kanan RN yang dipimpin oleh Marine Le Pen dan partai sayap kiri LFI”, katanya.

Rusia sebagai kunci disinformasi

Pada tahun 2014, Le Pen menerima pinjaman sebesar sembilan juta euro dari First Czech-Rusia Bank yang berbasis di Praha.

"Dengan bantuan itu, Rusia ingin menyulut perpecahan di masyarakat, sehingga mereka akan terpecah belah dengan sendirinya,” tambah Colon. "Kremlin memicu ketakutan akan serangan teroris dan ingin menciptakan keraguan mengenai apakah Prancis siap menjadi tuan rumah Olimpiade dan Paralimpiade,” katanya.

Lutz Güllner, kepala departemen komunikasi strategis di European External Action Service (EEAS), juga percaya bahwa Rusia adalah aktor disinformasi terbesar Eropa.

EEAS yang beranggotakan 42 orang bertugas menghubungkan negara-negara di Eropa melalui sistem peringatan dini.

"Struktur di Perancis sudah sangat sukses,” ujarnya, sembari merujuk kepada Swedia sebagai tauladan lain. Di sana, "ada yang disebut sebagai 'Badan Pertahanan Psikologis', yang fokusnya tidak hanya pada pendeteksian dini, namun juga reaksi dan membangun ketahanan melalui kampanye pendidikan.”

Halaman
123
Sumber: Deutsche Welle
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved