Budaya Membangunkan Sahur: Antara Tradisi dan Toleransi
Pro dan kontra tradisi membangunkan sahur masih terjadi. Sebagian menganggapnya penuh kenangan. Pemuka agama ingatkan toleransi, serukan…
Tapi di sisi lain, ini kan khas banget Ramadan, jadi kalau tidak ada seperti ini, juga rasanya kurang berasa ya Ramadan, walaupun saya tidak ikut puasa sih.”
Mengadaptasi budaya, bukan menghilangkan
Budaya membangunkan sahur sebenarnya bukan cuma ada di Indonesia. Pengamat Sosial Devie Rachmawati mengungkapkan bahwa budaya ini berasal dari Timur Tengah.
Dalam laman Kementerian Agama di Kuwait dan Mesir, tradisi membangunkan sahur di bulan puasa dikatakan mulai semarak di era Dinasti Abbasiyah.
Selain seruan muazin, ada juga tradisi menggunakan dentum meriam seperti yang terjadi pada masa Kekhalifahan Mamluk pada 865 Hijriah.
"Tapi yang selalu menarik dari Indonesia, karena kita punya social capital, kita punya kekayaan budaya, maka kemudian orang muslim di Indonesia punya cara untuk menerjemahkan hal tersebut, disesuaikan dengan satu kondisi geografis," ucapnya kepada DW Indonesia.
"Kenapa dibutuhkan suara yang kencang di masa lalu? Karena di masa lalu kondisi geografis kita kan memang masih sangat beragam. Artinya masih hutan-hutan, masih semak-semak, rumah jaraknya jauh-jauh, dan sebagainya. Sehingga kemudian dibutuhkan suara yang relatif kencang dalam hal ini untuk memastikan bahwa orang yang berpuasa semua terbangun."
Lebih lanjut, Devie mengungkapkan bahwa tradisi membangunkan sahur ini menjadi semacam gerakan kolektif untuk saling mengingatkan karena memang tradisi puasa ini erat kaitannya dengan semangat sosial.
"Kenapa ini ditemukan di masyarakat Asia Timur Tengah yang memang secara sosial kita kan masyarakat yang sangat kolektif, sangat guyub. Makanya ada kepentingan untuk saling membangunkan, walaupun sebenarnya puasa adalah sebuah praktik yang sangat individual."
Peneliti sosial vokasi Universitas Indonesia ini juga menyebut bahwa saat ini tradisi tersebut berubah. Di beberapa daerah ada beberapa perbedaan tradisi membangunkan sahur dengan cara dan gaya yang berbeda.
"Kita sudah tahu prediksi dunia bahkan Indonesia juga bahwa setiap daerah itu pelan-pelan menjadi kota yang kuat semangat privasinya. Nah, di sini kemudian kalau dibilang apakah tradisi ini luntur? Bukan luntur, tapi menyesuaikan dengan karakter masyarakat yang berubah. Ya, dia bergerak melayani karakter masyarakat itu sendiri. Karena tradisi itu kan cermin refleksi dari masyarakatnya."
"Kalau kemudian ada konsensus, kontrak sosialnya berubah, artinya kan itu berdasarkan kesepakatan seluruh masyarakat. Jadi kontrak, namanya juga kontrak sosial kalau pakai istilah Montesquieu di Perancis, kontrak sosial artinya kontrak itu kan sesuatu yang sangat mungkin diperbarui sesuai dengan kesepakatan sosial yang ada."
Devie mengatakan, budaya tidak akan pernah luntur, melainkan diadaptasi. Pengetahuan akan apa yang pernah terjadi di masa lalu tetap diperlukan. Ini jugalah yang menyebabkan kembalinya memori nostalgia beberapa orang.
"Memori kolektif, memori kolektif masyarakat, itu penting, untuk terus dipelihara. Bukan untuk terjebak dalam nostalgia, tapi itu menjadi bagian dari rujukan. Hari ini kita mau pakai rujukan yang mana? Itulah kontrak sosial. Sebelum melakukan kontrak, kita perlu rujukan. Nostalgia-nostalgia tadi adalah bagian dari rujukan itu."
"Kita timbang mana yang lebih nyaman, mana yang lebih pas dengan kita hari ini. Karena kemajuan zaman dan segala macam, dunia pasti berubah, jadi butuh sesuatu yang baru."
Mengajak ke kebaikan dengan cara baik
Pro dan kontra tradisi membangunkan sahur ini memang masih terjadi di beberapa tempat. Dipahami memang, dalam Islam, mengajak sahur atau beribadah adalah hal yang baik. KH Wahyul Afif Al-Ghafiqi, sekretaris PCNU Kota Bandung dan Pimpinan Taman Belajar Al-Afifiyah mengungkapkan pendapatnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.