Senin, 6 Oktober 2025
Deutsche Welle

Setengah Abad God Bless dan Peristiwa Malari

God Bless konser 50 tahun berkarya pada pertengahan November lalu, yang dari segi waktu berdekatan dengan peringatan 50 tahun Peristiwa…

Deutsche Welle
Setengah Abad God Bless dan Peristiwa Malari 

God Bless baru saja konser 50 tahun berkarya, pertengahan November lalu, yang dari segi waktu berdekatan dengan peringatan 50 tahun Peristiwa Malari.

Meski bergerak di ranah berbeda, kedua entitas tersebut memiliki benang merah, memberi kesaksian situasi nasional pada dekade 1970-an. God Bless dan gerakan Malari memiliki keprihatinan yang sama terhadap nasib rakyat kecil, yang jejaknya masih bisa kita temukan hari ini.

Dalam konser tersebut, salah satu tembang yang ditampilkan God Bless adalah "Balada Sejuta Wajah”, yang berbicara tentang nasib rakyat kecil. Lirik lagu ini bernada pesimistis, apakah nasib rakyat kecil akan lebih baik di masa mendatang, sebagaimana tertulis dalam bagian akhir: adakah hari esok makmur sentosa, bagi wajah-wajah yang mengiba.

Lagu itu dirilis 1980, artinya pesimisme God Bless kini terbukti. Hari ini, 40 tahun sesudah lagu itu dirilis, fenomena kemiskinan ekstrem masih saja terjadi. Sebagaimana berita foto dari sebuah harian nasional, foto yang sangat menyentuh nurani jutaan pembaca Kompas, bagaimana seorang anak seusia SD bernama Agung, harus memulung menyusuri kawasan Pasar Kebayoran Lama (Jakarta Selatan) untuk membantu nafkah keluarga (Kompas, 15/2/2022).

Agung hanyalah salah satu kasus, bila para penguasa tidak hati-hati, kemiskinan ekstrem dikhawatirkan masih akan terjadi menjelang Indonesia Emas 2045, dan pengalaman Agung bisa dianggap sebagai kegagalan bonus demografi.

Atas dasar keprihatinan terhadap nasib rakyat kecil pula, gerakan Malari dulu disiapkan. Saat peristiwa Malari meledak, karena begitu otoriternya rezim Soeharto, informasi terkait dalih peristiwa Malari yang sebenarnya disembunyikan, diganti dengan isu yang lebih moderat: menentang investasi Jepang. Kebetulan pula saat itu, PM Jepang Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta.

Kemudian ada lagi isu, yang sejatinya juga parsial, yaitu rivalitas berlarut antara Ali Moertopo dan Soemitro, dua jenderal yang mengklaim sama-sama dekat dengan Soeharto. Baru bertahun-tahunskemudian, semuanya menjadi jelas, bahwa alasan utama peristiwa Malari sebenarnya sudah sampai tahap menentang rezim militeristik Soeharto, yang dianggap sebagai menjadi sumber penderitaan rakyat.

Baik penguasa saat itu, maupun para pelaku sendiri, sengaja menyamarkan motivasi gerakan. Penguasa memiliki kepentingan, jangan sampai gerakan Malari menjadi inspirasi bagi gelombang gerakan perlawanan (terhadap Soeharto) secara berkelanjutan. Sementara bagi para pelaku, sengaja menyamarkan motivasi yang sebenarnya, sekadar untuk menghindari tekanan yang lebih berat, namun pada akhirnya publik bisa mengerti.

Personel God Bless dan tokoh gerakan Malari hampir semuanya menjadi ikonik, untuk God Bless bukan hanya sebatas nama Achmad Albar yang menonjol. Ian Antono ketika bermain gitar di panggung, seolah-olah kita menyaksikan titisan dewa sedang mendarat. Pun dengan tokoh Malari, utamanya Hariman Siregar, meskipun tidak pernah menduduki jabatan formal di rezim mana pun, namun namanya selalu dikaitkan dengan berbagai peristiwa penting di tanah air. Hariman Siregar mirip posisi Gus Dur (sebelum menjadi Presiden), yang selalu menjadi rujukan dari berbagai pihak.

Secara kebetulan juga, (Bang) Hariman pada suatu masa, sempat mendapat julukan "Sejuta Wajah”, karena lingkaran pergaulan dengan spektrum yang luas, mulai dari BJ Habibie (sejak sebelum menjadi Presiden), lalu Jenderal Wiranto dari kelompok Cendana, hingga pelukis Semsar Siahaan (almarhum), seorang seniman yang dikenal sangat keras dalam menentang Soeharto, dan cenderung "kiri”. Salah satu lukisan Semsar, masih terpampang pada salah satu ruangan di klinik milik Hariman.

Dari Benny ke Jokowi

Gagasan God Bless dan Malari, sampai kapan pun akan selalu aktual. Orang akan selalu mengingat, karena selalu diusahakan ada peringatan secara berkala. God Bless misalnya, selalu mengadakan konser skala besar dalam siklus lima tahunan, sementara Malari juga selalu diperingati setiap tahun, biasanya di komplek kesenian Taman Ismail Marzuki (TIM). Gagasan God Bless dan Malari akan selalu aktual, ketika nasib rakyat hanya begitu-begitu saja dari waktu ke waktu, dan rezim sudah berganti sekian kali.

Salah satu jejak gerakan Malari yang masih relevan sampai hari ini adalah ikhtiar mereduksi dominasi militer. Sebagaimana disebut sekilas di atas, bahwa Malari untuk sebagian merupakan efek rivalitas antara Ali Murtopo dan Soemitro. Kiranya sudah cukup menggambarkan, bagaimana konflik para jenderal saat itu hampir saja membakar Jakarta, dan tentu saja rakyat kecil tak bersalah juga yang menjadi korban.

Tak lama setelah Malari, dua jenderal tersebut secara perlahan menepi, untuk digantikan bintang baru yang kemudian sangat mewarnai langit politik Jakarta pada dekade berikutnya: Benny Moerdani. Saat peristiwa Malari meledak, posisi Benny masih di Seoul. Dia dipanggil pulang oleh Soeharto, sebagai "jalan tengah” mengatasi rivalitas antara Ali Murtopo dan Malari. Dalam waktu relatif singkat, Benny selanjutnya menjadi sandaran politik Soeharto, hingga mencapai puncaknya saat dia dilantik sebagai Panglima TNI (d/h Pangab) tahun 1983.

Sebagai perwira intelijen andal, Benny tentu memiliki jaringan yang luas, termasuk menyiapkan perwira-perwira muda. Kita langsung lompat saja pada situasi nasional mutakhir, ketika sebagian perwira-perwira muda yang dianggap "anak didik” Benny Moerdani, saat ini masih eksis di sekitar kekuasaan, sebut saja Letjen (Purn) Luhut Binsar Panjaitan (Akmil 1970) dan Letjen (Purn) Agum Gumelar (Akmil 1968).

Secara kebetulan Luhut dan Agum saat ini masuk barisan pendukung Prabowo selaku capres. Tentu saja ini adalah sebuah paradoks. Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa Prabowo adalah lawan abadi Benny, namun kini Prabowo menyatu dengan murid musuhnya. Salah satu tafsir yang bisa kita ajukan adalah, pihak militer (baik yang masih aktif maupun purnawirawan) selalu ingin berkuasa, dan bila ada kesempatan akan kembali mendominasi seperti era Orde Baru dulu.

Halaman
123
Sumber: Deutsche Welle
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved