Setengah Abad God Bless dan Peristiwa Malari
God Bless konser 50 tahun berkarya pada pertengahan November lalu, yang dari segi waktu berdekatan dengan peringatan 50 tahun Peristiwa…
Tidak tanggung-tanggung, selain didukung para seniornya yang dulu dianggap kurang ramah terhadap dirinya, Prabowo juga didukung penuh Presiden Jokowi, pesaingnya dalam dua kali pilpres (2014 dan 2019). Ketika Jokowi memberi ruang pada Prabowo (sebagai Menhan), itu sama artinya Jokowi memberi ruang pada kelompok militer kembali mendominasi politik. Benar, Prabowo ibarat "Kuda Troya” bagi kelompok militer yang ingin kembali berkuasa.
Secara singkat bisa dikatakan, Jokowi seolah memutar jarum jam sejarah. Apa yang dulu diperjuangkan gerakan Malari, untuk mengurangi dominasi militer, kini justru dimentahkan sendiri oleh Jokowi, 25 tahun pascareformasi. Ironi masih bisa ditambahkan, ketika dua anak lelaki Jokowi yang sedang dipersiapkan masuk arena kekuasaan, yaitu Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep, ternyata memiliki literasi yang minim terkait "tangan besi” rezim Orde Baru.
Situasi di Indonesia kira-kira mirip dengan Filipina, ketika penguasa lama (Ferdinand Marcos) yang memiliki sisi gelap, bisa masuk kembali dalam pusaran kekuasaan melalui anaknya, dengan cara memanfaatkan rendahnya literasi generasi baru (generasi milenial dan generasi Z) terhadap sejarah kelam masa lalu bangsanya. Ironisnya ini juga terjadi pada Gibran dan Kaesang. Kita patut bertanya-tanya, jadi selama ini apa yang didiskusikan Gibran dan Kaesang dengan ayahnya?
Mendengar alasan mereka berdua, sungguh membuat kita cemas. Mereka berdua beralasan, mereka tidak paham kisah gelap rezim Orde Baru, karena saat itu belum lahir atau masih balita. Alasan yang sangat sumir, dan sangat mengkhawatirkan, bila dihubungkan dengan posisi mereka sebagai calon pemimpin masa depan, Kaesang sendiri kabarnya sedang disiapkan sebagai Gubernur Jakarta.
Itu ibarat membuka "aib” sendiri, artinya Gibran dan Kaesang, sebagai calon orang besar, rupanya kurang senang membaca. Karena semua peristiwa itu bisa dipelajari, banyak bacaan yang bisa menjelaskan rezim Orde Baru. Jangan-jangan di rumah pribadi Pak Jokowi di Solo, juga tidak tersedia ruang perpustakaan pribadi. Bandingkan dengan Presiden AS, yang setelah purna tugas, perpustakaan pribadinya bisa diakses publik secara gratis.
Saya sendiri jadi khawatir, jangan-jangan Gibran dan Kaesang, juga kurang paham siapa itu Hariman Siregar dan apa itu Peristiwa Malari. Seandainya ditanyakan, mungkin mereka akan berpikir cukup lama untuk kemudian dijawab sekenanya.
Berani hidup sederhana
Perjalanan God Bless juga bisa dibaca sebagai bentuk perlawanan terhadap kultur militeristik, karena kita tidak bisa membayangkan musisi rock dengan model rambut crew cut, model rambut khas anggota pasukan. Sejak lahir God Bless sudah menjadi trendsetter, dan tak lepas dari pergaulan kelas atas di Jakarta. Itu sebabnya, ketika aparat berlaku sangat keras terhadap kelompok music rock saat itu, terutama aparat di daerah, selalu ada kelonggaran bagi God Bless, baik saat pentas maupun penampilan, utamanya model rambut.
Sangat berbeda dengan fenomena Citayam Fashion Week misalnya, yang pelakunya adalah remaja di pinggiran Jakarta, begitu mudahnya untuk dihalau, karena sama sekali tidak memiliki backup dari lingkaran elit. Salah satunya lewat sosok Camelia Malik (adik tiri Achmad Albar), God Bless ada akses ke Cendana, meski hanya tipis-tipis. Publik bisa menyaksikan, bagaimana sibuknya Camelia Malik saat Ibu Tien (Soeharto) meninggal pertengahan 1996. Bisa jadi Camelia lebih sibuk dari Brigjen Sjafrie Sjamsuddin (Akmil 1974, sahabat Prabowo sejak taruna), yang saat itu menjabat Kasgar (Kepala Staf Garnisun) Ibu Kota, di mana salah satu tugasnya memang mengurus prosesi pemakaman warga VVIP.
Apa yang bisa kita pelajari dari personel God Bless dan tokoh Malari, adalah keberanian mereka menjalani hidup sederhana, tanpa mempedulikan kebesaran nama mereka. Itu terlihat ketika God Bless merayakan hari jadi ke 49 (November 2022), cukup di rumah salah satu personel, demikian juga dengan hidangannya. Kemudian bila personel sedang berkumpul untuk latihan atau sekadar ngopi, hidangan yang dinanti adalah nasi rawon, kuliner terbilang sederhana, meski ada unsur daging sapinya.
Demikian juga dengan tokoh Malari. Tidak ada tokoh Malari yang hidupnya berlebihan, termasuk Hariman Siregar. Hariman memang memiliki klinik, tapi sebagian keuntungan (yang juga tidak seberapa) klinik tersebut, adalah untuk mensubsidi roda organisasi gerakan yang lain, yaitu Indemo, lembaga pembela HAM yang dibentuk para mantan tokoh Malari.
Tokoh Malari yang hidupnya bisa dianggap sangat sejahtera adalah Theo Sambuaga. Namun kita harus ingat, Theo adalah tokoh Malari yang paling cepat berkompromi dengan rezim Orde Baru, ketika bersedia masuk kepengurusan KNPI pada akhir dekade 1970-an. KNPI saat itu terafiliasi pada Golkar.
Mungkin kita bisa sepakat, biarlah gaya hidup mewah dan hedonis, menjadi privilese elite kekuasaan dan konglomerat, tentu beserta keluarganya. Sementara para personel God Bless dan tokoh Malari tetap hidup sederhana, agar terus terhubung dengan kehidupan rakyat kecil, yang tetap menderita sejak zaman kolonial.
Soal keberanian hidup sederhana inilah yang kini semakin langka dalam masyarakat kita. Di saat tahun politik seperti sekarang, kita melihat banyak nama dan foto bertebaran di jalan, mereka ini adalah contoh orang yang mencari kesejahteraan lewat jalur politik, artinya mereka tidak berani untuk hidup sederhana. Dalam hal keberanian hidup sederhana, harus diakui politisi kalah jauh dari para seniman, khususnya musisi.
Para seniman besar seperti Iwan Fals atau Rendra, mereka hidup sederhana bersama komunitasnya di padepokan masing-masing, berbasis rasa solidaritas dan kebersamaan. Fenomena ini mengingatkan kita pada konsep "komune” dalam cita-cita masyarakat sosialis. Ini terlihat ketika jam makan tiba, Mas Iwan dan Mas Willy (Rendra) ikut makan bersama, dengan lauk yang sama pula. Kalau ada seniman atau musisi yang sedikit bergaya high class, salah satu yang bisa disebut adalah Setiawan Djody, itu pun karena Setiawan Djody sudah dikenal sebagai pengusaha sukses, sebelum bergabung dengan Iwan Fals dan Rendra dalam Kantata Takwa.
Penulis juga memiliki pengalaman pribadi terkait seniman atau budayawan yang berani hidup sederhana, yakni atas nama Goenawan Mohamad (Mas Gun). Penulis sempat bekerja sebagai staf rendahan (clerk) di Komunitas Utan Kayu (KUK), yang diampu oleh Mas Gun. Bagi orang sekelas Mas Gun, untuk kendaraan sehari-hari tentu bisa menggunakan mobil SUV, namun Mas Gun lebih memilih naik Kijang model lama, tipe yang biasa untuk mikrolet.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.