Konflik Palestina Vs Israel
Pensiunan Jenderal AS: Banyaknya Tentara Israel yang Tewas di Gaza karena Kurang Pengalaman
Pensiunan jenderal Amerika Serikat (AS) memberikan pengamatannya soal mengapa banyak tentara Israel yang tewas di Jalur Gaza.
TRIBUNNEWS.com - Pensiunan jenderal Amerika Serikat (AS) bicara soal militer Israel yang kehilangan banyak pasukannya sejak Hamas menyerang perbatasan pada 7 Oktober 2023 lalu.
Diketahui, pensiunan jenderal ini menghabiskan banyak waktu selama perang di Kota Fallujah, Irak, pada 2004.
Dikutip dari AlJazeera, ia membuat pengamatan soal banyaknya pasukan Israel yang tewas.
Pertama, soal latihan dan pembelajaran mengenai metode peperangan perkotaan yang tidak memadai.
Ia menilai pelatihan-pelatihan yang didapatkan Pasukan Pertahanan Israel (IDF), tidak disiapkan untuk menghadapi kondisi nyata di Gaza, yaitu pertempuran di jalan-jalan sempit dan diserang dari segala sisi, termasuk dari atas gedung, serta harus mengkhawatirkan soal terowongan.
Baca juga: Brigade al-Qassam Bersumpah Israel Pasti Gagal Musnahkan Hamas, Beri Peringatan soal Nyawa Sandera
Jenderal itu menegaskan "senjata yang paling efisien dalam peperangan perkotaan adalah pengalaman."
"Dalam pelatihan, seorang prajurit mempelajari bagaimana cara kerja granat tangan, misalnya, dan berapa jarak mematikannya."
"Tapi, dia tidak bisa membayangkan kekuatan ledakan atau jarak pecahan peluru yang memantul dari dinding beton," urai dia.
Sedikitnya pemahaman mengenai metode peperangan perkotaan, atau bahkan soal penggunaan senjata, dianggap sebagai salah satu faktor mengapa IDF banyak yang tewas.
Sampai setiap anggota IDF bisa memahami metode peperangan perkotaan, kata sang jenderal, mereka akan 'berkorban' lewatnya banyaknya tentara yang tewas.
Kematian sembilan tentara Israel dalam insiden di Shujaiya pada 12 Desember 2023 lalu, adalah contoh yang menggambarkan pengamatan sang jenderal.
Dua perwira dan dua tentara dari Brigade Golani, salah satu unit militer Israel yang paling berpengalaman, tewas saat sayap militer Hamas, Brigade al-Qassam, menyergap mereka ketika mereka memasuki sebuah gedung.
Alat peledak rakitan menyebabkan anggota IDF tidak bisa kabur dan mereka dihabisi menggunakan granat tangan, serta senapan mesin.
Saat pasukan Israel lainnya mencoba menyelamatkan rekan-rekannya, mereka juga memicu alat peledak rakitan dan terbunuh dalam baku tembak.
Tewas karena Kelalaian Mereka Sendiri

Lebih lanjut, pensiunan jenderal AS ini menjelaskan dari sisi jumlah korban.
Menurutnya, meskipun dalam sebuah peperangan diperkirakan ada satu korban tewas dari tiga hingga lima korban terluka, rasionya mungkin menunjukkan dua kali lebih tinggi.
Bahaya ekstrem peperangan di perkotaan tidak hanya berdampak pada tentara, tapi juga warga sipil.
Baca juga: Memohon Dibebaskan, Warga Israel yang Disandera Hamas Takut Jadi Korban IDF: Kami Tak Ingin Mati
Mereka yang terjebak di wilayah pertempuran juga terbunuh, beberapa karena serangan udara, lainnya karena serangan darat.
Angkatan udara Israel tak ingin ambil pusing untuk menyelamatkan nyawa warga sipil saat mengebom Gaza.
Mereka beralasan 50 persen bom yang mereka gunakan adalah bom "lemah".
Bom-bom itu hanya dapat dibidik dengan mengarahkan pesawat sebelum dilepaskan, dan dapat menyimpang 50-100 meter dari target.
Meski tak peduli pada warga sipil di Gaza yang tewas karena bom mereka "salah sasaran", nyatanya keacuhan dan kelalaian anggota IDF juga jadi penyebab utama banyaknya pasukan Israel yang tewas.
Israel telah membunuh satu dari setiap delapan korbannya menggunakan bom yang mereka anggap "lemah".
Pada 12 Desember, komando militer Israel mengakui dari 105 tentara yang terbunuh saat itu, 20 di antaranya tewas karena "tembakan lemah" dan insiden lain yang melibatkan tentara Israel yang saling membunuh.
Dari 20 tentara tersebut, 13 orang tewas akibat bom angkatan udara Israel, baik karena kesalahan identifikasi dan lokasi pasukan, atau karena bom yang jatuh jauh dari sasaran.
Insiden lain juga menunjukkan betapa peperangan di perkotaan menjadi kelemahan Israel.
Insiden itu terjadi pada 15 Desember 2023, saat pasukan Israel salah mengira ketiga sandera sebagai anggota Hamas hingga ditembaki sampai mati.
Insiden tersebut membuat Israel terkejut karena ternyata ketiga sandera itu adalah warga mereka sendiri.
Tapi, bagaimana bisa IDF salah tembak? Apalagi ketiga korban membawa bendera putih dan berbicara menggunakan bahasa Ibrani.
Pembunuhan terhadap warga sipil, terutama mereka yang sudah menyerah, mengindikasikan beberapa masalah yang tidak diinginkan merusak kinerja pasukan Israel.
Hal ini mencakup kurangnya pelatihan yang tepat untuk membedakan mana tentara dan warga sipil, sehingga secara terang-terangan mengabaikan nyawa pihak lain.
Baca juga: Dampak Boikot Produk Pro Israel, CEO Starbucks Minta Masyarakat Berhenti Demo Kedai Kopinya
Tak hanya itu, stres akibat pertempuran yang ekstrem tanpa dukungan psikologis bagi prajurit yang lelah, juga menjadi faktor mengapa anggota IDF tidak bisa "mengendalikan diri".
Faktor-faktor lain yang mungkin terjadi termasuk pimpinan yang mengabaikan kondisi anggota IDF di medan perang dan kegagalan untuk merotasi unit-unit yang mungkin terlibat dalam pertempuran sengit di luar pertempuran, terutama jika unit tersebut memiliki banyak korban.
Kegagalan rantai perintah atau penunjukan komandan yang tak kompeten juga dianggap menjadi faktor mengapa pasukan Israel banyak yang tewas.
Militer Israel jelas memiliki masalah yang harus diselesaikan di jajarannya.
Di saat yang sama, diperkirakan pasukan Israel tidak dapat mengandalkan dukungan dari Perdana Menteri mereka, Benjamin Netanyahu.
Ada tanda-tanda banyak pejabat tinggi tidak mempercayai Netanyahu.
Mereka memilih seseorang yang lebih menghormati militer dibandingkan tujuan politiknya sendiri.
Mereka tidak mau mengakuinya, namun menurut jenderal AS ini, gencatan senjata mungkin menjadi yang paling dibutuhkan militer Israel saat ini.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.