Konflik Palestina Vs Israel
Tahanan Palestina Dijadikan Perisai Manusia oleh Tentara Israel, Mata Ditutup Kain, Ditodong Senjata
Tentara Israel menjadikan seorang tahanan Palestina sebagai perisai manusia dalam konfrontasi di Tepi Barat yang diduduki.
TRIBUNNEWS.com - Seorang tahanan Palestina digunakan dijadikan perisai manusia oleh tentara Israel.
Hal ini terlihat dari video yang diunggah AlJazeera Arab lewat akun X (dulu Twitter) @AJA_Palestine, Jumat (10/11/2023).
Dalam video tersebut, tampak seorang pria mengenakan pakaian serba hitam berlutut di tengah jalan.
Matanya ditutup menggunakan kain putih.
Sementara itu, pria berseragam yang merupakan tentara Israel, berdiri di belakangnya.
Baca juga: PM Yordania: Pengusiran Warga Palestina dari Gaza Kami Anggap Sebagai Deklarasi Perang
Tentara Israel tersebut menargetkan senjata ke arah pria itu.
AlJazeera telah mengidentifikasi sosok pria tersebut.
Ia adalah tahanan asal Palestina bernama Alaa Abu Hashhash.
Hashhash dimanfaatkan sebagai perisai manusia dalam operasi militer terbaru tentara Israel di Tepi Barat yang diduduki.
"Pasukan pendudukan Israel menjadikan tahanan Alaa Abu Hashhash yang telah dibebaskan, sebagai perisai manusia selama konfrontasi di kamp Al-Fawwar di Hebron," tulis keterangan @AJA_Palestine.
Diketahui, penahanan administratif terhadap warga Palestina yang dilakukan Israel, telah meningkat sepanjang 2023.
Menurut catatan Amnesty International, per 1 Oktober 2023, jumlah tahanan Palestina mencapai 1.319 orang.
Pada 1 November 2023, jumlah tersebut meningkat menjadi lebih dari 2.070 warga Palestina yang ditahan secara administratif.
Oleh Israel, warga Palestina diklasifikasikan sebagai "tahanan keamanan" yang sering ditahan tanpa tuduhan atau pengadilan.
Sebagian besar dari warga Palestina yang menjadi tahanan, ditahan berdasarkan perintah penahanan administratif yang dapat diperpanjang tanpa batas waktu setiap enam bulan.
Penahanan administratif adalah suatu bentuk penahanan di mana individu ditahan oleh otoritas negara berdasarkan alasan keamanan rahasia yang tidak dapat ditinjau oleh terdakwa dan pengacaranya.
Penahanan dengan metode seperti ini secara efektif menghindari proses hukum yang dijamin bagi semua orang yang dirampas kebebasannya berdasarkan hukum internasional.
Amnesty International menemukan Israel secara sistematis menggunakan penahanan administratif sebagai alat untuk menganiaya warga Palestina, bukan sebagai tindakan pencegahan.
Pihak berwenang Israel juga telah memilih untuk menerapkan Undang-undang "Pejuang yang Melanggar Hukum".

Baca juga: Pengakuan Mengejutkan Komandan Militer Hamas di Gaza, Kritik Pemimpin Mereka Hidup Nyaman di Qatar
UU tersebut merupakan kategori yang tidak diakui oleh hukum internasional lantaran digunakan untuk menahan tanpa batas waktu dan tanpa dakwaan atau pengadilan terhadap setidaknya 105 warga Palestina dari Jalur Gaza yang diduduki.
Mereka ditahan karena memasuki Israel selama serangan yang dipimpin Hamas terhadap Israel sejak 7 Oktober 2023.
Hingga saat ini, masih belum jelas berapa banyak dari mereka yang ditahan sehubungan dengan serangan tersebut.
Direktur Regional Timur Tengah dan Afrika Utama, Heba Morayef, mendesak pemerintah Israel untuk membebaskan warga Palestina yang ditahan secara sewenang-wenang.
Morayef juga meminta agar Israel memberikan para tahanan akses kepada pengacara dan keluarga mereka.
“Pemerintah Israel harus segera membatalkan tindakan darurat tidak manusiawi yang diberlakukan terhadap tahanan Palestina dan memberi mereka akses segera ke pengacara dan keluarga mereka."
"Semua warga Palestina yang ditahan secara sewenang-wenang harus dibebaskan. Kami mendesak Israel untuk mengizinkan Komite Palang Merah Internasional melakukan kunjungan mendesak ke penjara dan fasilitas penahanan serta memantau kondisi tahanan Palestina,” kata Heba Morayef.
“Otoritas peradilan Israel juga harus secara imparsial dan independen menyelidiki pengaduan penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya serta mengadili secara adil mereka yang bertanggung jawab memerintahkan dan melakukan penyiksaan," imbuh dia.
Jumlah Korban Tewas

Memasuki hari ke-33 sejak pecahnya konflik di Gaza pada 7 Oktober 2023 lalu, lebih dari 10.000 warga Palestina di Gaza, tewas.
Menurut catatan AlJazeera per 9 November 2023, setidaknya ada 4.324 anak-anak dan 2.823 perempuan yang menjadi korban.
Sementara itu, di Tepi Barat yang diduduki, 44 anak turut menjadi korban tewas.
Berikut rincian jumlah korban tewas di Gaza, Tepi Barat yang diduduki, dan Israel:
Baca juga: Korban di Gaza Tembus 10 Ribu, Presiden Iran Bikin Sejarah Datang ke Arab Saudi Guna Bahas Genosida
Korban di Gaza
Tewas: 10.569 orang, termasuk 4.324 anak-anak dan 2.823 perempuan
Terluka: 26.475 orang, termasuk 8.663 anak-anak dan 6.327 perempuan
Korban di Tepi Barat yang diduduki
Tewas: 175 orang, termasuk 44 anak dan satu perempuan
Terluka: Lebih dari 2.100 orang
Korban di Israel
Tewas: 1.405 orang
Terluka: 5.600 orang
Hingga saat ini, tempat penampungan dan perawatan medis belum lepas dari serangan Israel.
Setidaknya 193 staf medis tewas, 57 ambulans hancur.
Lalu, 18 dari 35 rumah sakit tidak berfungsi lagi di Gaza.
Juga, 51 dari 72 fasilitas perawatan medis dasar, tidak beroperasi.
Sejak pecahnya konflik pada 7 Oktober 2023, setiap jamnya ada 15 orang terbunuh di Gaza, termasuk enam anak-anak.
Tak hanya itu, ada 35 orang terluka, 42 bom dijatuhkan, dam 12 gedung dihancurkan.
Sementara itu, per 3 November 2023, ada 36 jurnalis yang tewas terbunuh.
Jumlah tersebut terdiri dari 31 jurnalis Palestina, empat jurnalis Israel, dan satu jurnalis Lebanin.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.