Kamis, 2 Oktober 2025

Pulau Rempang: ‘Kami tidak akan pindah meski kami terkubur di situ’

Perwakilan masyarakat dari 16 kampung adat di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, menyatakan sikap mereka yang menolak direlokasi “tak…

BBC Indonesia
Pulau Rempang: ‘Kami tidak akan pindah meski kami terkubur di situ’ 

Perwakilan masyarakat dari 16 kampung adat di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, menyatakan sikap menolak relokasi “tak akan berubah”, meski pemerintah memberi tenggat waktu pengosongan kawasan tersebut hingga 28 September 2023 demi pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City.

Sementara itu, Presiden Joko Widodo menganggap penolakan masyarakat Rempang disebabkan “komunikasi yang kurang baik”. Karenanya, dia mengutus Menteri Investasi Bahlil Lahadalia untuk menjelaskan kepada warga.

Sudah berhari-hari, Sobirin, 43, tak pergi melaut untuk mencari nafkah.

“Kami betul-betul takut,” kata nelayan yang tinggal di Kampung Tanjung Banon, Pulau Rempang kepada wartawan Nando Bolean yang melaporkan untuk BBC News Indonesia pada Selasa (12/09).

Bentrokan yang terjadi pada Kamis (7/09) lalu membuat Sobirin kian resah dan khawatir. Ketika itu, petugas dari BP Batam dan aparat mencoba masuk ke kampung-kampung ini untuk mengukur lahan.

“Mau makan apa, istri pun sudah ngomel-ngomel kalau kami ndak kerja. Kalau kami kerja kan, tapi kami tinggalkan [rumah], kata orang-orang kampung mau ada pematok-pematok, jadi ndak jadi kerja, takut,” tuturnya.

“Bukannya kami melarang orang itu, kami enggak melarang, tapi tolonglah jangan dipatok dulu sebelum selesai negosiasinya.”

Kampung Tanjung Banon berada di sisi selatan Pulau Rempang, berjarak sekitar 60 kilometer dari Kota Batam. Seperti Sobirin, mayoritas warga di sini adalah nelayan.

Sobirin menetap di kampung ini sejak 2003, setelah menikah dengan istrinya yang merupakan orang asli Tanjung Banon.

Selama itu pula, Sobirin menggantungkan hidupnya pada laut di sekitarnya yang telah dia kenali.

Ketika mendengar kabar bahwa masyarakat harus direlokasi demi proyek Rempang Eco City, dia mengaku tak bisa membayangkan akan seperti apa hidupnya nanti.

Nggak akan bisa kita hidup di darat. Kita harus mulai dari nol lagi, nggak tahu tempat kita kerja, enggak akan bisa, malah bisa jadi mati kelaparan dulu. Kita harus memahami laut dulu. Di sini kan kita sudah tahu di mana tempat udang, tempat gonggong, kita tahu di mana yang ada ikannya,” tuturnya.

Sobirin sudah mendengar tawaran ganti rugi rumah dari BP Batam, namun dia enggan mendaftarkan diri.

“Kami nggak mau. Makanya kami memohon, meminta tolong kepada pemimpin-pemimpin kami, janganlah gusur kami,” ujarnya.

Halaman
1234
Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved