Pemilu 2024: Golkar dan PAN resmi dukung Prabowo – sembilan hal tentang peta koalisi
Deklarasi Golkar dan PAN yang mendukung Prabowo Subianto mengawali babak baru peta koalisi parpol di mana KIB berakhir 'ambyar'.
Selain prospek elektabilitas pada bakal calon, Dodi Ambardi menyebutnya sebagai "insentif", merujuk pada posisi menteri, posisi dirjen di kementerian, hingga posisi strategis di BUMN. Posisi yang akan diraih parpol koalisi ketika nantinya memperoleh kemenangan dalam pilpres. Sebuah teori klasik tentang politik di mana; siapa, dapat apa dan bagaimana caranya.
"Kandidat yang diusung cari ke sana ke mari, tergantung dari bagaimana negosisasi yang terjadi di antara partai. Mereka akan mendapatkan intensif apa di sana," kata Dodi.
Tawaran "intensif" ini ikut menentukan partai politik untuk berkoalisi atau tidak. Selama belum ada kesepakatan, koalisi yang ada saat ini masih sangat cair.
"Kalau sekarang ini saya melihat masih cair semua… Nanti masih tergantung perundingan-perundingan periode berikutnya, sampai nanti bulan Oktober dan November, di mana pasangan capres dan cawapres itu akan diumumkan [KPU]," jelas Dodi.
Apa saja koalisi yang paling awal terbentuk dan jumlah kursi di parlemen?
Koalisi Perubahan terdiri dari PKS, NasDem, dan Partai Demokrat. Koalisi ini masih eksis sampai hari ini dan sejauh ini masih konsisten mengusung Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden 2024.
Koalisi ini memiliki total 163 kursi di DPR--memenuhi syarat mengusung bakal capres yang sedikitnya 115 kursi.
Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) terdiri dari Gerindra-PKB, berdiri 13 Agustus 2022. Sejauh ini koalisi dengan 136 kursi di parlemen, masih mengusung Prabowo Subianto sebagai bakal Capres.
Koalisi Indonesia Bersatu dideklarasikan Partai Golkar, Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada Mei 2022. Total kursi mereka di DPR sebanyak 148.
Koalisi ini sedikit goyang setelah PDI Perjuangan mengusung Ganjar Pranowo sebagai bakal capres, yang diikuti dukungan PPP.
PDI Perjuangan menepati janji untuk mengusung kadernya sendiri dalam perayaan ulang tahun ke-50 pada Januari lalu.
Pengamat politik menyebut efek ekor jas (coal-tail effect) masih akan berlaku di pemilu 2024. Artinya, efek pemilihan figur bakal capres-cawarpres sangat menentukan elektabilitas partai politik.
Sejumlah kalangan menyebut koalisi parpol di Indonesia bisa berubah pada detik-detik terakhir.
"Ini masih seperti politik Indonesia, seperti biasanya yang bisa berubah pada detik-detik terakhir," jelas Wijayanto, Direktur Center for Media and Democracy di Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
Siapa wajah-wajah yang muncul di lembaga survei?
Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Prabowo Subianto. Tiga nama ini berkejaran di urutan teratas dalam pelbagai lembaga survei seperti LSI, Charta Politika, dan Indikator Politik.
Selain tiga nama tersebut, ada juga nama Agus Harimurti Yudhoyono, Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, Khofifah Indar Parawansa, Mahfud MD hingga Erick Thohir—lebih sering disebut potensial menjadi bakal cawapres.
"Survei-survei ini seakan-akan membatasi pilihan publik. Kita itu seakan-akan disodori antara teh atau kopi. Padahal kita masih punya tokoh-tokoh lain sebenarnya. Tapi itu nggak pernah muncul. Nggak pernah jadi pemberitaan," kata Wijayanto.
Bagaimana seharusnya masyarakat merespons dinamika politik akhir-akhir ini?
Mada Sukmajati, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, menilai masyarakat bisa melupakan nama-nama capres dan cawapres serta peta koalisi partai politik, dan tetap fokus pada persoalan-persoalan saat ini.
"Yang jadi urusan publik itu adalah visi, misi, dan program para kandidat pilpres kita. Jadi kita tidak terjebak dalam soal nama saja," kata Mada Sukmajati.
Tujuan pemilu bukan tentang kekuasaan itu sendiri, tapi menghadirkan warga negara dalam kebijakan-kebijakan politik oleh mereka yang terpilih dalam sirkulasi kekuasaan itu, Wijayanto menambahkan.
"Pemilu itu tentang festival gagasan, tentang kita bicarakan masalah Indonesia itu apa. Bahwa demokrasi di Indonesia itu mengalami kemunduran, bahkan berputar balik ke otoriter. Itu PR-nya," kata Wijayanto.
Kata dia, persoalan di depan mata antara lain parpol yang tergantung individu, teror kebebasan sipil, kekerasan yang membudaya, kasus Ferdy Sambo, ketimpangan ekonomi, serta tidak adanya oposisi dalam proses kenegaraan.
"DPR hari ini adalah DPR paling sunyi. Paling hening sepanjang sejarah reformasi. DPR mengiyakan semua kebijakan pemerintah," kata Wijayanto.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.