E-Nose, Inovasi Peneliti Indonesia untuk Deteksi TBC Tampil di Panggung Dunia
Mengetahui lebih dekat e-Nose, alat deteksi TBC lebih cepat dan mudah, satu-satunya penelitian dari Indonesia yang diperkenalkan di…
Permasalahan utama kenapa kasus TB tidak turun adalah karena diagnosisnya lama sekali, dengan berbagai macam alasan tadi. Nah, selama dia belum terdiagnosis, dia akan menyebar ke lebih banyak orang. Semakin cepat kita bisa men-screening, maka asumsinya, diagnosisnya akan lebih cepat daripada menunggu orang datang ke pusat kesehatan.
Jadi alat e-Nose ini bisa menyelesaikan masalah tersebut. Membuat diagnosis lebih cepat, sehingga lebih cepat dapat terapi, dan angka kesembuhan lebih tinggi. Kalau diagnosisnya lebih cepat, maka kita bisa mengurangi angka penyebaran penyakit.
E-Nose ini awalnya dikembangkan untuk TB, lalu akhirnya dipakai untuk diagnosis COVID-19. Berdasarkan pengalaman saat pandemi, bagaimana efektivitas e-Nose ini?
Ada 4.820 e-Nose yang didistribusikan. Saat ini, kami masih dalam fase awal pengembangan, jadi masih melatih alat untuk bisa mendiagnosis secara sensitif dan spesifik. Kalau untuk fase pelatihan (hasilnya) bagus. Sekarang tantangannya adalah fase validasi. Tahapan ini sudah dilatih, namun alat itu sekarang diperintahkan untuk menebak. Kira-kira orang yang datang itu positif atau negatif? Sekarang kami sedang mengembangkan supaya faktor-faktor itu bisa masuk ke otaknya alat ini.
Bagaimana keakuratan alat ini menguji varian-varian COVID-19 baru yang terus berkembang?
Kami sudah mendapat sampel-sampel dari varian baru seperti yang terakhir varian terakhir XBB. Tapi memang belum terlalu banyak kasusnya. Jadi intinya semakin banyak variasi kasus, semakin banyak varian yang bisa dideteksi alat ini. Semakian dia terpapar maka dia semakin pintar dan bisa mendeteksi.
Alat ini baru digunakan di Indonesia, seperti apa tahap pengembangan berikutnya?
Kami berharap bisa bikin alat yang mudah dan murah, jadi bisa dipakai orang secara mandiri. Mungkin nanti bayangannya seperti alat tes kehamilan. Tapi untuk sekarang, memang alatnya masih besar, dan masih perlu listrik. Nantinya mungkin bisa pakai baterai. Karena kita tahu di daerah terpencil, listrik sering mati. Untuk sekarang, yang penting akurat dulu. Jika sudah akurat, nanti dipikirkan praktikalnya. Ini sebenarnya temuan tim. Saya dari sisi medisnya, nanti dari tim fisika yang merakit sensornya.
Inovasi ini ditampilkan di forum internasional, adakah prospek kerja sama dengan negara lain?
Sebenarnya untuk COVID-19, kami sudah mau mulai (bekerja sama) dengan Malaysia dan Filipina. Untuk TB, yang tertarik untuk kerja sama adalah Afrika Selatan. Namun, sekarang kami fokusnya untuk Indonesia dulu, khususnya untuk tuberkulosis. Indonesia adalah negara dengan beban tuberkulosis kedua terbesar di dunia. Kalau kita mau memperluas ke negara lain, maka harus ke negara-negara dengan kasus yang tinggi, dan kurang lebih kondisi sosial ekonominya sama dengan Indonesia, salah satunya Afrika Selatan.
Bila dikaitkan dengan perubahan iklim, apa yang harus diantisipasi terkait berkembangnya penyakit infeksi di masa depan?
Sebagai dampak perubahan iklim, maka terjadi bencana. Pada saat bencana, daya tahan tubuh turun karena orang tidur di tenda, lalu diare karena air tidak bersih, atau kurang nutrisi. Setiap kali daya tahan (tubuh) turun, maka kasus infeksi termasuk TB bisa meningkat.
Yang jelas, perubahan iklim itu menyebabkan udara semakin panas, semakin lembab. Jika semakin lembab, TB semakin suka berkembang. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa perubahan iklim itu membuat penyakit infeksi yang tadinya tidak ada jadi ada. Yang dulu sudah hampir hilang, datang kembali. Karena itu di daerah tropis, penyakit-penyakit infeksi memang perlu diwaspadai. (ae)
Wawancara untuk DW Indonesia oleh Tonggie Siregar dan telah diedit sesuai konteks.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.