E-Nose, Inovasi Peneliti Indonesia untuk Deteksi TBC Tampil di Panggung Dunia
Mengetahui lebih dekat e-Nose, alat deteksi TBC lebih cepat dan mudah, satu-satunya penelitian dari Indonesia yang diperkenalkan di…
Dengan penuh percaya diri, Antonia Morita Iswari Saktiawati naik ke podium Next Gen Science Sessions di Lindau Nobel Laureate Meetings ke-72 di Lindau, Jerman. Ia lalu mempresentasikan hasil risetnya. Dari sekitar 600 peserta, hanya 45 peneliti yang dipilih tampil di panggung ini, dan Morita menjadi satu-satunya perwakilan dari Indonesia.
Di hadapan para ilmuwan dari berbagai negara, peneliti dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu menjelaskan mengenai electonic nose, atau yang ia sebut e-Nose, inovasi yang awalnya dikembangkan untuk mendeteksi Tuberkulosis (TBC).
Berikut perbincangan Antonia Morita dengan DW Indonesia di Lindau, Jerman, terkait apa yang membuat pengembangan e-Nose tidak hanya penting untuk Indonesia, tapi juga negara lain di dunia.
DW Indonesia: Bagaimana hingga akhirnya Anda terpilih menjadi salah satu pembicara di Next Gen Science. Mengapa inovasi Anda dinggap penting untuk disampaikan di forum internasional?
Antonia Morita: Sebenarnya kami sebagai peneliti muda disuruh untuk mengajukan abstrak (penelitian). Studi saya tentang inovasi alat diagnostik dalam penyakit infeksi. Ini sesuatu yang inovatif, jadi ada nilai kebaruannya. Saya rasa karena sekarang 'kan sedang zamannya teknologi, dan salah satu topik dalam Nobel Laureate ini 'kan adalah AI, perkembangan artificial intelligence. Jadi mungkin dianggap cocok menjawab permasalahan yang ada.
Apa sebenarnya e-Nose ini?
Electoric Nose ini digunakan untuk mendiagnosis penyakit lewat aroma tubuh atau napas. Untuk menggunakannya, seseorang perlu bernafas ke dalam kantong yang menampung udara yang terkoneksi ke alat e-Nose. Data ini lalu terkoneksi ke laptop. Kecerdasan buatan di laptop akan menganalisis data dan memberi tahu kita apakah seseorang sakit atau tidak.
Apa yang menjadi temuan menarik dari riset Anda terkait e-Nose?
Jadi kalau kita mau mendiagnosis atau men-screening penyakit, biasanya alatnya besar. Padahal di Indonesia banyak sekali orang yang tinggal di daerah-daerah terpencil. Untuk ke pusat kesehatan masyarakat saja harus jalan jauh, padahal mereka dalam kondisi sakit. Jadinya sering tidak mampu datang, akhirnya tidak terdiagnosis, tidak dapat terapi, dan meninggal. Pertama, permasalahan jarak.
Kedua, alat-alat untuk mendiagnosis itu biasanya harganya tidak murah. Misalnya untuk TB, kultur (alat pemeriksaan dahak mikroskopis) itu mahal sekali. Jadi tetap tidak menguntungkan, karena harus pakai mikroskop, harus ada petugas kesehatan khusus yang meneliti. Jadi kita tidak bisa melakukannya sendiri.
Ketiga adalah masalah efek samping. Salah satu alat diagnosis TB adalah menggunakan foto Rontgen, di mana efek sampingnya adalah paparan radiasi, sehingga tidak aman. Pasien yang ingin mendapatkan pemeriksaan itu juga harus datang ke pusat kesehatan. Makanya kami berusaha menemukan suatu inovasi alat diagnosis, yang mana orang bisa melakukan secara mandiri di rumah.
Bagaimana e-Nose bisa bermanfaat untuk mengatasi penyebaran tuberkulosis?
Hasil pemeriksaan di rumah, bisa dibaca oleh petugas di pusat kesehatan masyarakat, jadi mereka bisa tahu di daerah ini ada yang positif TB. Petugas dari pusat kesehatan akan datang ke rumah orang itu. Ini lebih praktis.
Tidak hanya soal jarak, tapi juga masalah budaya. Kadang orang yang mau ke pusat kesehatan masih menunggu persetujuan keluarga, sehingga jumlah yang terlambat didiagnosis sangat besar. Jadi, tujuan kami membuat inovasi alat diagnosis ini adalah untuk (menciptakan) alat yang murah, portable atau mudah dibawa, sehingga bisa digunakan mandiri.
Seberapa besar signifikansinya untuk menekan penyebaran TB, jika alat ini bisa digunakan secara mandiri?
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.