Sabtu, 4 Oktober 2025

Inflasi: Kalkulator warteg - Berapa harga sepiring nasi kini dan satu dekade lalu?

Tingginya harga bahan pangan dan biaya operasional berpengaruh pada harga seporsi nasi warteg yang naik hampir dua kali lipat dibanding…

Rata-rata harga lauk masakan warung Tegal atau warteg naik hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan 10 tahun lalu. Tingginya harga bahan pangan dan dan biaya operasional seperti harga sewa kontrakan menjadi faktor utama, merujuk hasil survei dan wawancara BBC kepada 30 pemilik warteg di Jabodetabek.

Jika Anda pergi ke warteg di kawasan Jakarta dan memesan nasi ayam, minimal Anda harus merogoh kocek Rp17.000 atau lebih. Bandingkan dengan 10 tahun lalu, Anda hanya perlu mengeluarkan sekitar Rp11.500.

Atau, kalau Anda jeli, perhatikan porsinya. Apakah berkurang?

"Mungkin kalau dulu nasi, tempe orek, telur, dan sayur [seharga] Rp10.000 dapat. Kalau sekarang mungkin sekitar Rp12.000 atau Rp13.000. Bahkan bisa Rp13.000 atau Rp14.000.

"Lumayan naiknya. Tapi mungkin tergantung daerah juga ya, karena dekat asrama [mahasiswa] lebih murah," kata Axel Pradikie, 24, karyawan perusahaan percetakan digital tekstil, yang membeli nasi warteg dua hingga tiga kali dalam sehari.

BBC mengajak Anda untuk menjelajah kalkulator warteg di bawah ini yang menyajikan perubahan harga menu dalam 10 tahun terakhir.

Anda bisa juga mengecek inflasi tiap harga bahan pangan yang bersumber dari data Badan Pusat Statistik, Kementerian Perdagangan, dan Data Informasi Pangan Jakarta.

Inflasi bahan pangan

Warteg Nasi Rames Wulan milik Yati dan suaminya, Supri, di sekitar Jalan Irian, Gondangdia, Jakarta Pusat, dipadati pegawai kantoran yang datang untuk menyantap makan siang pada 16 Mei lalu.

Yati memasak, sedangkan Supri mengambil lauk untuk dihidangkan kepada para pelanggan setia mereka.

Mereka sudah berjualan di warteg itu selama 16 tahun. Namun kini, penjualan semakin sulit bagi mereka di tengah kenaikan harga-harga bahan pangan. Yati merasa harga barang belanjaannya di pasar - mulai dari telur, beras, hingga ayam - masih tak kunjung turun.

"Kalau ayam, kami ambilnya empat ekor [per hari]. Dulu satu ekor itu Rp25.000, sekarang Rp28.000. Naik Rp3.000 semenjak lebaran," keluh Yati sambil menggoreng paha ayam kuning.

Penjual warteg lainnya, Warto, juga mengamini kenaikan sejumlah harga bahan pangan seperti cabai merah.

"Bisa sampai Rp70.000. Bahkan beberapa minggu yang lalu sampai Rp120.000 [per] satu kilogram. Pas hujan deras mungkin dan susah panen, faktor cuaca mungkin," ujar Warto di warteg waralaba Kharisma Bahari miliknya di bilangan Kampus Universitas Bina Nusantara Syahdan, Jakarta Barat.

Merujuk data BPS dan Kementerian Perdagangan, dari 19 harga komoditas bahan pangan yang terdapat di kalkulator warteg di atas, komoditas dengan lonjakan inflasi paling tinggi dalam satu dekade yakni kentang dan telur.

Harga kentang kini sekitar Rp18.000 atau meningkat 90% dibanding 10 tahun lalu. Sementara, harga telur per kilogram melonjak hingga 75%, tercatat sekitar Rp30.000 per akhir Mei 2023. Untuk periode yang sama, harga beras naik sekitar 34%.

Baca juga:

Harga sewa kontrakan tinggi

Tantangan lain yang dihadapi para penjual warteg adalah tingginya harga sewa rumah atau kontrakan untuk lokasi berjualan. Faktor ini pula yang menentukan kenaikan harga menu warteg.

Survei BBC menunjukkan harga sewa kontrakan beragam mulai dari Rp200.000 hingga Rp5 juta sebulan. Harga paling murah ditemukan di Bogor dan Jakarta Utara. Sementara, paling mahal yakni di bilangan Ciracas dan Duren Sawit, Jakarta Timur.

"Harga [sewa] kontrakan mahal, maka harga [jual nasi warteg] juga naik. Nasi ayam di Setiabudi [Jakarta Selatan] bisa sampai Rp17.000 sampai Rp20.000 karena harga kontrakan mahal, beda dengan di Bekasi yang [harga sewa kontrakan] masih murah," kata Ketua Koperasi Warteg Nusantara yang juga pemilik warteg di Bekasi, Mukroni, pada BBC.

Hal senada diucapkan Warto yang mengaku harga kontrakan kini terbilang mahal.

"Yang naik signifikan cenderung [harga sewa] kontrakan, bukan harga belanjaan sebetulnya, taruhlah sekitar 5% - 10%," ungkap Warto.

Alhasil, Warto harus mengatur keuangannya supaya semua biaya operasional dapat tertutup oleh hasil penjualan.

Kenapa harga barang dan jasa naik?

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Rusli Abdullah, mengurai alasan inflasi barang dan jasa yang tak bisa dihindarkan.

Pertama, inflasi bahan pangan. Inflasi ini dipicu banyak hal seperti kondisi cuaca, fenomena pola iklim seperti El Nino, meningkatnya permintaan pada saat hari besar keagamaan atau perayaan tertentu, dan keadaan geopolitik.

Hujan yang terus-menerus melanda atau kekeringan ekstrem lantaran El Nino bisa menyebabkan petani gagal panen.

Suplai beras dan produk hortikultura pun menipis meski permintaan naik. Dengan demikian, harga dapat melonjak.

Lebih jauh, kondisi Perang Ukraina berimbas pada harga energi, harga pangan impor seperti gandum yang digunakan untuk membuat mie telur, dan harga pupuk.

"Harga pupuk subsidi maupun non-subsidi akan naik dan ini mendongkrak kenaikan harga komoditas yang membutuhkan pupuk seperti jagung [yang digunakan] untuk pakan ternak. Tidak hanya jagung, tapi juga tanaman lain untuk konsentrat pakan ternak," ujar Rusli.

Baca juga:

Kedua, inflasi harga sewa kontrakan atau rumah. Hal ini menunjukkan geliat ekonomi sudah kembali usai pandemi.

"Orang sudah mulai banyak [yang menyewa]. Itu menunjukkan kenaikan aktivitas ekonomi yang juga bisa berdampak pada usaha. Setiap tahun selalu ada kenaikan harga sewa 5%-10%," ujar Rusli kepada BBC.

Laba merosot

Yati menceritakan bahwa dengan harga-harga yang terus naik, keuntungannya pun berkurang. Empat tahun lalu dia bisa belanja dengan modal Rp1,3 juta dan mendapat keuntungan Rp600.000 per hari. Namun kini, untung yang ia dapat hanya sekitar Rp300.000.

"Dulu [keuntungan] bisa separuhnya, sekarang enggak bisa. Paling bisanya seperempat," ujar Yati bermuka murung.

Hal senada diucapkan Warto yang laba warungnya merosot tajam, semula sekitar 33% pada 2018 kini menjadi 25% dari pendapatan kotor.

"Jadi [pengeluaran] kami masih ketutup dari hasil penjualan. Untuk gaji karyawan, untuk kontrakan, untuk ini dan itu masih ada sisanya. Walaupun enggak sebanyak dulu," kata Warto.

Lebih dari setengah responden meraup keuntungan bersih kurang dari Rp200.000 setiap harinya. Jika berjualan lima hari dalam sepekan, para pedagang ini mengantongi duit senilai Upah Minimum Regional (UMR) DKI Jakarta per 2023 dalam sebulan.

Warteg masih diminati

Meski harga berubah atau porsi mengecil, warteg masih menjadi primadona kaum menengah ke bawah di sekitar Jakarta.

"Satu, karena murah [itu] sudah pasti. Dan hemat waktu. Jadi enggak perlu masak sehingga lebih efisien," ungkap Axel.

Hal yang serupa diungkapkan oleh Sandi Tri Pamungkas. Ia bekerja sebagai juru masak di restoran Argentina yang letaknya persis di seberang warteg milik Yati.

Walaupun Sandi memiliki keahlian memasak, ia tetap lebih menyukai makanan warteg dibandingkan masakannya sendiri. Alasannya adalah menu warteg yang terkesan 'rumahan', harganya yang murah dan lokasinya yang dekat.

"Kalau makan di warteg, saya jarang pilih menu yang sama. Biasanya yang penting ada sayurnya, ada proteinnya, ayam atau ikan," kata Sandi.

Terkait perubahan harga, dirinya mengaku tak kaget, "karena saya sudah tahu juga, saya juga orang kuliner juga, suka beli bahan baku."

Siasat di situasi sulit

Rusli berpendapat, pemerintah dan pelaku usaha perlu memainkan perannya dengan baik di tengah inflasi harga barang dan jasa.

Menurutnya, dalam menghadapi El Nino dan cuaca buruk, pemerintah mestinya bisa memprediksi daerah mana saja yang kemungkinan akan gagal panen akibat kekeringan.

"Nah di daerah-daerah itu, saya kira pemerintah bisa mengantisipasi agar harga-harga di sana itu nggak naik. Misal, pemerintah dapat mendistribusikan cadangan beras ke daerah-daerah itu," kata Rusli.

Pemerintah, melalui rapat ketahanan pangan pada Selasa lalu (30/5), menyinggung perlunya sinergi antarlembaga untuk mengawasi fenomena El Nino pada Agustus 2023 nanti yang bakal mengancam turunnya suplai bahan pangan.

"Sinergi dan komitmen bersama ini yang harus dibangun, termasuk dengan para kepala daerah di seluruh Indonesia," kata Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian (Irjen Kementan), Jan Samuel Maringka, mengutip rilis yang diterima BBC.

Selain itu, Kementerian Pertanian akan menggandeng Aparat Pengawas Internal Pemerintah dengan Aparat Penegak Hukum (APIP-APH) untuk mengawasi oknum yang mengambil keuntungan dari kelangkaan bahan pangan saat El Nino.

Sementara dari sisi pelaku usaha, agar dapat bertahan, Rusli menyarankan untuk mengurangi porsi lauk yang harga bahan pokoknya naik. Selain itu, mereka juga dapat memodifikasi bahan dengan mencari alternatif yang lebih murah.

"Kalau seperti telur kemarin ya, ya pasti akan mengurangi porsi telurnya di masakannya dia seperti itu. Karena pasti kalau UMKM di Indonesia, kalau harga udah naik dia gak akan bisa bersaing," ujarnya.

Selaras dengan Rusli, Mukroni, juga membeberkan strateginya untuk bertahan di kala naiknya harga bahan pokok.

"Seperti tempe ditipiskan. Ayam ukurannya lebih kecil. Telur biasanya sekilo isi 16, sekarang beli yang isi 18 butir," katanya.

Ia juga berusaha mencari bahan pangan yang lebih murah dengan belanja ke pasar induk, seperti Kramat Jati di Jakarta Timur atau Cibitung di Bekasi.

"Beli [bahannya] langsung banyak, misal satu kwintal bawang atau cabai dan diblender langsung," ucapnya.

Ia pun juga mengurangi bumbu yang digunakan untuk membuat masakan. Sebelumnya ia memasak dengan bumbu yang banyak, sekarang makin dikurangi. Dengan kondisi ekonomi terkini, sambungnya, para penjual warteg sedang berusaha bertahan.

"Teman-teman [penjual warteg] mulai kreatif lah, sudah kontrakan mahal, belanja mahal. Ya dia siasati, kalau enggak ya gulung tikar. Dia akan rugi," tutupnya.

Grafik interaktif oleh Ayu Widyaningsih Idjaja dan Arvin Supriyadi

Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved