Putusan MK ubah masa jabatan pimpinan KPK, pakar hukum tata negara 'cium keanehan' berbau politis
Sejumlah pakar hukum Tata Negara mendesak pemerintah segera membentuk panitia seleksi (pansel) calon pimpinan Komisi Pemberantasan…
Sejumlah pakar hukum Tata Negara mendesak pemerintah segera membentuk panitia seleksi (pansel) calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi demi menghindari kecurigaan publik bahwa putusan MK ada campur tangan Istana dan bernuansa politis jelang Pemilu 2024.
Desakan itu mengemuka setelah putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan pada Kamis (25/02) mengubah masa jabatan pimpinan KPK dari semula empat tahun menjadi lima tahun.
Kemudian MK juga menyatakan syarat batas usia calon pimpinan KPK paling rendah 50 tahun dan paling tinggi 65 tahun - bertentangan dengan UUD 1945.
Merespons putusan MK, Menkopolhukam Mahfud Md mengatakan pemerintah akan menyikapinya setelah mendalami argumen hukumnya dan mendengarkan berbagai pendapat pakar.
Adapun Ketua KPK, Firli Bahuri, menyatakan perpanjangan masa jabatannya setahun ke depan bakal membawa penguatan dalam pemberantasan korupsi.
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, mengaku mencium sejumlah 'keanehan' dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan uji materi atau judicial review salah satu pimpinan KPK, Nurul Ghufron.
Bivitri berkata, materi gugatan tersebut sesungguhnya "tidak urgen" dan "tidak ada kaitannya dengan isu konstitusional".
Kalau merujuk pada putusan-putusan MK sebelumnya, materi gugatan yang sifatnya open legal policy atau kebijakan hukum terbuka seperti yang diajukan Nurul Ghufron, "hakim konstitusi akan menolak gugatan tersebut" dan menyerahkannya pada pembuat undang-undang yakni DPR.
Namun pada gugatan kali ini, menurut Bivitri, sikap MK berbeda dan diadili dengan sangat cepat.
"Nah ini [keputusan masa jabatan pimpinan KPK] menyalahi pola itu," ujar Bivitri Susanti kepada BBC News Indonesia, Jumat (26/05).
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, sepakat dengan Bivitri.
Feri mengatakan hakim MK secara tidak langsung sudah mencampuri urusan DPR dengan mengatur masa jabatan dan batas usia pimpinan KPK.
Itu mengapa Feri dan Bivitri menduga keputusan tersebut sangat erat kaitannya dengan nuansa politik jelang Pemilu 2024 serta tak lepas dari campur tangan kepentingan Istana.
"Ada nuansa politik yang sulit bagi MK menghindari itu, apalagi berkaitan dengan berbagai kepentingan Istana," ujar Feri kepada BBC News Indonesia.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.