Jumat, 3 Oktober 2025
Deutsche Welle

Kenapa Peringkat Kebebasan Pers di Jepang Sangat Rendah?

Dalam hal kebebasan pers, Jepang sebagai negara industri berada di urutan rendah menurut Reporter Without Borders. Tradisi, kepentingan…

Jepang mungkin unggul di bidang manga dan teknologi. Namun di bidang kebebasan pers, peringkat negara ini tergolong rendah. Dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2023, Jepang berada di urutan ke-68 dari 180 negara dan wilayah yang disurvei untuk studi tahunan Reporters Without Borders.

Ini berarti, negara dengan peringkat ekonomi terbesar ketiga di dunia ini berada di bagian bawah negara-negara G7 dalam hal kebebasan pers, dan berada di antara Lesotho dan Panama.

"Jepang, negara demokrasi parlementer, menjunjung tinggi prinsip media dan pluralisme," kata studi yang diterbitkan pada 3 Mei itu. "Namun, beratnya tradisi, kepentingan ekonomi, tekanan politik, dan ketidaksetaraan gender menghalangi jurnalis untuk sepenuhnya menjalankan peran mereka dalam menuntut transparansi dari pemerintah."

Norwegia menduduki puncak indeks Reporters Without Borders yang berbasis di Paris selama tujuh tahun berturut-turut, dengan Irlandia di tempat kedua. Jerman berada di posisi ke-21, turun dari posisi ke-16 pada studi sebelumnya. Korea Utara menduduki peringkat terakhir dari 180 negara. Sementara Cina di posisi 179, turun empat peringkat dari laporan 2022, dan Vietnam berada di peringkat ke-178.

Kuatnya pengaruh klub pers yang didukung pemerintah

Rendahnya kebebasan pers di Jepang salah satunya dinilai karena adanya sistem klub pers yang disetujui pemerintah bagi tiap-tiap kementeriannya. Selain itu, ada pula kecenderungan media untuk melakukan sensor sendiri saat ada tekanan sekecil apa pun dari pemerintah atau mitra bisnis yang berpengaruh, menurut akademisi dan jurnalis. Itulah yang membuat Jepang sangat tertinggal di belakang negara-negara seperti Liberia, Bosnia-Herzegovina, dan Burkina Faso.

"Kebebasan berbicara dijamin di Jepang berdasarkan Pasal 21 Konstitusi, tetapi ada masalah - seperti sistem klub pers - itulah sebabnya Jepang mendapat peringkat sangat rendah dalam indeks," kata Renge Jibu, profesor di Tokyo Institute of Technology dan anggota dari Japan Association of Media, Journalism and Communication Studies.

Keberadaan Klub Wartawan atau yang disebut "Kisha kurabu" dapat ditelusuri kembali hingga ke tahun 1890 dan larangan akses wartawan yang diberlakukan oleh kekaisaran saat itu. Sebagai tanggapannya, para pun jurnalis bersatu, dengan dukungan perusahaan surat kabar, dan membentuk klub pers pertama dan melobi untuk mendapatkan akses.

Klub-klub ini umumnya hanya terdiri dari jurnalis yang bekerja di outlet media besar Jepang. Para anggotanya memiliki akses eksklusif ke sumber-sumber resmi, dan untuk mempertahankan akses tersebut mereka harus mematuhi garis haluan dari pemerintah.

Terlepas dari tekanan dari media asing saat ini, sistem klub kisha tetap efektif sejak saat itu. Sistem ini memberikan politisi dan birokrat kekuatan untuk menakut-nakuti jurnalis dan perusahaan media jika mereka melaporkan berita negatif atau tidak menyenangkan, ujar profesor Renge Jibu.

"Kementerian akan mengatakan mereka ada keterbatasan ruang untuk wartawan dan ada kebutuhan untuk melakukan pemeriksaan latar belakang, tetapi di sisi lain klub kisha sudah menjadi kelaziman yang sekarang sulit untuk disangkal," katanya kepada DW.

Bukan hanya politisi dan kementerian yang mampu membuat media tunduk pada ancaman pengucilan, kata Koichi Ishiyama yang juga adalah mantan jurnalis Associated Press dan The Times of London, sebelum akhirnya menjadi profesor ilmu studi media di Toin University of Yokohama.

Tekanan korporasi

"Perusahaan bisa sama buruknya," kata Ishiyama. "Saya pernah melakukan wawancara dengan perusahaan besar Jepang, dan eksekutif mereka menerangkan dengan sangat jelas bahwa mereka tidak akan bekerja sama dengan permintaan informasi atau komentar apa pun karena saya telah menulis sesuatu tentang perusahaan yang menurut mereka negatif."

Perusahaan besar juga dapat memberikan jenis tekanan lain kepada media, kata Ishiyama, seperti yang ditunjukkan oleh skandal yang sudah berlangsung lama tetapi sebagian besar diabaikan seputar mogul dunia hiburan Johnny Kitagawa.

Majalah berita mingguan Shukan Bunshun pertama kali melaporkan pada tahun 1999 bahwa Kitagawa, pendiri agensi pencari bakat Johnny & Associates, melakukan pelecehan seksual terhadap calon bintang pop laki-laki.

Takut kehilangan ketenaran dan kekayaan, tidak ada pemuda yang mau mengajukan pengaduan resmi ke polisi. Akibatnya, Kitagawa tetap bebas untuk melecehkan lebih banyak anak laki-laki sampai saat kematiannya pada Juli 2019.

Halaman
12
Sumber: Deutsche Welle
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved