Jumat, 3 Oktober 2025

RUU Konservasi: Mengapa masyarakat adat perlu dilibatkan dalam konservasi hutan?

Tokoh masyarakat adat Dalem Tamblingan, yang berasal dari Bali, Putu Ardana, mengatakan masyarakat adat harus dilibatkan karena menurut dia,

Rancangan Undang-undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE) yang tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dinilai sejumlah pemerhati konservasi masih belum melibatkan masyarakat adat dan lokal “secara penuh dan efektif“, padahal sebagian wilayah adat merupakan “ruang hidup“ bagi mereka.

Meski isi RUU KSDAHE yang diusulkan DPR ini dinilai memiliki “sedikit kemajuan“ dibandingkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 dengan judul yang sama, perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan RUU ini masih “berwatak kolonial“.

“Paradigma konservasi masih belum bergeser dari scientific forestry yang masih berwatak kolonial itu, jadi seolah bahwa semua yang disebutkan dalam konservasi hanya negara yang paling benar. Padahal kan praktiknya ada masyarakat,“ kata Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM AMAN, Muhammad Arman, kepada BBC News Indonesia, Minggu (09/04).

Koordinator Kelompok Kerja Simposium ICCAs Indonesia (WGII), Kasmita Widodo, juga menekankan bahwa urusan konservasi seharusnya urusan banyak pihak, termasuk masyarakat adat. Apalagi saat ini banyak ruang hidup masyarakat adat yang berada dalam klaim kawasan konservasi.

“Ini hal yang krusial untuk dimasukkan di dalam norma-norma yang ada di dalam RUU tersebut, bagaimana membuka ruang masyarakat adat menjadi bagian di dalam pengelolaan konservasi,“ ujar Widodo.

Pelibatan masyarakat adat dan lokal dalam RUU KSDAHE dinilai penting karena masih ada kawasan konservasi yang tumpang tindih dengan wilayah kelola masyarakat.

Data yang dipaparkan WGII mencatat area konservasi yang tumpang tindih dengan wilayah kelola masyarakat luasnya mencapai 4,5 juta hektare—dengan 2,9 juta hektare di antaranya berada di wilayah Taman Nasional.

Saat ini pun terdapat 16,3 juta jiwa yang tinggal di 6.747 desa yang berada di sekitar kawasan konservasi.

Tokoh masyarakat adat Dalem Tamblingan, yang berasal dari Bali, Putu Ardana, mengatakan masyarakat adat harus dilibatkan karena menurut dia, hutan-hutan yang kondisinya masih baik “sebagian besar itu hutan adat”.

“Misalnya hutan-hutan di Kalimantan, yang paling paham kan saudara-saudara kita yang di sana, bukan yang duduk di atas meja di Kementerian LHK [Lingkungan Hidup dan Kehutanan],” kata Ardana.

Right Resources Institute dalam laporannya tahun 2022, yang dikutip WGII, menyebut data global menunjukan bahwa wilayah kelola masyarakat adat dan komunitas lokal memiliki tingkat deforestrasi lebih rendah, menyimpan lebih banyak karbon, dan mengandung lebih banyak keanekaragaman hayati.

Bagaimanapun, baik para pemerhati konservasi maupun masyarakat adat berharap RUU KSDAHE akan mengarah kepada sesuatu yang “lebih baik“, memberikan peluang bagi masyarakat adat dalam “tata kelola kawasan konservasi“ di Indonesia.

Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU KSDAHE, Daniel Johan, mengatakan DPR pun berharap masyarakat memiliki peran aktif dalam kegiatan konservasi sehingga pada draf RUU usulan, DPR memasukan bab khusus peran serta masyarakat dan masyarakat adat.

“Peran serta masyarakat sebagai garda terdepan dalam menjaga sumber daya alam terutama masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan, merekalah yang paling mengetahui kondisi hutan apalagi hutan menjadi sumber penghidupan masyarakat,” kata Daniel melalui aplikasi berbagi pesan kepada BBC News Indonesia.

Baca juga:

Hutan suci turun status, ‘ada rasa sakit yang kami rasakan'

Putu Ardana menjadi salah satu perwakilan masyarakat adat yang dilibatkan dalam pembahasan RUU KSDAHE di DPR. Dia dan masyarakat adat Tamblingan sedang berjuang mengembalikan kawasan konservasi menjadi hutan adat yang suci, seperti sedia kala.

Bagi masyarakat adat setempat, kawasan Danau Tamblingan dan Hutan Mertajati— yang memiliki arti sumber kehidupan yang sesungguhnya— adalah kawasan suci milik mereka sejak “1.000-an tahun yang lalu”.

Namun, ketika Indonesia merdeka, wilayah itu diklaim menjadi wilayah konservasi milik pemerintah, yang sekarang “statusnya diturunkan” menjadi taman wisata alam.

“Menurut kami kualitas kawasan malah semakin menurun, ada penebangan liar, perburuan liar, dan kami sebagai masyarakat adat yang menganggap itu sebagai kawasan suci, ya ada rasa sakitlah yang kami rasakan. Makanya kami sekarang sedang berjuang agar posisi hutan itu dikembalikan sebagai hutan adat yang kepemilikannya adalah kami,” tutur Ardana.

Mereka tidak rela kawasan yang dianggap suci kini mulai rusak.

“Kami sering menemukan kayu yang dicuri atau ditebang. Itu kami laporkan ke polisi hutan, kami cuma dapat melapor saja, tidak pernah ditindak lanjuti,“ lanjut dia.

Baca juga:

Putu Ardana, yang juga merupakan Ketua Tim 9 Masyarakat Adat Dalem Tamblingan, mengatakan mereka juga menolak investasi yang masuk demi menjaga kesucian hutan, meskipun bertentangan dengan pemerintah, sampai-sampai harus mendapat surat dari “dirjen“ KLHK yang memerintahkan untuk mendukung investor.

Hasilnya, kata Ardana, sampai saat ini belum ada pemilik izin investasi yang “berani eksekusi“.

“Kalau di hutan itu tidak kami izinkan, itu kan hutan suci, penghasil air bersih, udara bersih, lansekap yang lestari, itu kan yang menikmati masyarakat yang ada di bawahnya. Kalau investasi, kalau di luar kawasan ya silakan saja, jangan di hutan suci itu,“ tegas dia.

Beberapa cara telah mereka lakukan untuk mendapatkan kembali hutan adatnya.

Mereka melakukan pemetaan partisipatif yang mengajak anak muda dan mendaftarkan wilayah tersebut ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), meski masih terganjal karena sampai sekarang belum mendapatkan tanda tangan dari bupati setempat.

“Sekarang karena bupatinya sudah ganti, sudah PJ [penjabat], mungkin akan ada titik terang dan prosesnya di Kementerian LHK akan bisa dipermudah atau dipercepat,” tambah Ardana.

Mengatasi konflik yang kian ‘parah‘

Pembahasan RUU KSDAHE ini dianggap menjadi “momentum untuk memperbaiki dan memulihkan konflik tenurial“ yang terjadi antara masyarakat adat dengan negara di wilayah konservasi.

Konflik tenurial adalah berbagai bentuk perselisihan atau pertentangan klaim penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan penggunaan kawasan hutan.

Arman dari AMAN menyebut konflik tenurial di tanah air sudah “parah sekali“ karena sampai merenggut nyawa masyarakat.

Salah satunya, seperti yang terjadi pada masyarakat adat Colol, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Barat.

Pada 2004 lalu, wilayah masyarakat adat Colol yang digunakan untuk menanam kopi “diklaim sebagai wilayah konservasi“.

Menurut pemberitaan media, para petani diduga melanggar garis batas dan memanfaatkan kawasan hutan untuk menanam kopi.

Namun, menurut petani mereka tidak melanggar batas karena sudah mengikuti batas yang lama, sementara pemerintah memiliki batas baru yang tidak diketahui oleh para petani dan juga tidak disosialisasikan kepada mereka.

Konflik antara masyarakat dan pemerintah, yang melibatkan polisi itu, menyebabkan enam orang tewas dan 28 orang luka-luka.

Baca juga:

Kasus Colol itu hanyalah satu dari beberapa konflik tenurial yang terjadi di Indonesia. Kasmita Widodo mengatakan harus ada “payung hukum“ untuk menyelesaikan situasi-situasi seperti itu, bahkan untuk memadamkan potensi konflik.

“Tidak bisa mengandalkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, yang tidak membuka ruang sama sekali bagaimana peran masyarakat adat atau komunitas lokal,“ ujar Widodo.

Daniel Johan, yang juga merupakan anggota Komisi IV DPR, mengatakan RUU KSDAHE pun diharapkan bisa “meminimalisasi dan menyelesaikan masalah-masalah konflik tenurial“, bersama dengan undang-undang lainnya seperti Undang-undang Pokok Agraria.

'Pemerintah tidak mau mengganti undang-undang'

DPR mengusulkan RUU KSDAHE untuk menggantikan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 pada 17 Desember 2019 lalu karena dinilai perlu ada penyesuaian setelah 32 tahun karena lingkungan mengalami banyak perubahan.

Daniel Johan menyontohkan, saat ini sumber mata air semakin menipis, berbeda dengan 20 tahun yang lalu sangat banyak ditemukan karena "hutan-hutan masih bagus, terutama tutupan lahan di daerah pegunungan".

"Namun, faktanya sekarang banyak hutan kita yang alih fungsi, perubahan kawasan menjadi APL [Area Penggunaan Lain] menyebabkan cepatnya perubahan dan hilangnya hutan-hutan sebagai sumber air maupun kehidupan satwa di dalamnya. Maka dari itu, RUU ini sangat mendesak untuk segera kita selesaikan dan undang-undangkan," lanjut Daniel.

Menurut catatan WGII, persiapan RUU ini bahkan telah dimulai sejak 2016 lalu dengan nama RUU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem (KKHE). Namun, RUU ini belum berhasil dibahas secara intensif dan disetujui bersama oleh DPR dan Pemerintah.

Pada 7 Juli 2022, RUU KSDAHE akhirnya ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR RI dan masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Mulai November 2022, DPR membahas RUU ini. Per April 2023, RUU KSDAHE sudah mencapai tahap pembahasan di Pembicaraan Tingkat I oleh para pihak-pihak terkait.

Daniel Johan, selaku perwakilan panja DPR, mengatakan pihaknya tidak ingin terburu-buru dalam melakukan pembahasan agar diperoleh hasil yang maksimal dan kepentingan “konservasi benar-benar berjalan sesuai dengan tuntutan perkembangan”.

Pembahasan RUU ini juga mengalami hambatan, mulai dari masalah teknis, terkait jadwal rapat, sampai soal substansinya. Daniel menyebut pemerintah dan DPR belum memiliki persamaan persepsi dalam rumusan pasal-pasal.

“Ada beberapa rumusan usulan DPR yang dihapus oleh pemerintah, tetapi di situlah pentingnya menyamakan persepsi agar RUU ini menjadi lebih baik. Lahirnya undang-undang harus kerja sama antara DPR dan Pemerintah, artinya ketika RUU KSDAE ini banyak penolakan dari pemerintah maka akan lama lagi pembahasannya, padahal DPR ingin UU KSDAE ini benar-benar mengayomi masyarakat,” kata Daniel.

Menurut Kasmita Widodo, Muhammad Arman, dan Putu Ardana, daftar inventarisasi masalah (DIM) yang dilakukan pemerintah justru tidak sejalan dengan DPR.

Arman menyebutnya “lebih buruk” karena masih bertahan dengan undang-undang versi lama.

Widodo bahkan beranggapan pemerintah tidak mau mengganti undang-undang sebelumnya dengan RUU KSDAHE, “mereka maunya merevisi”.

“Kalau saya disuruh milih, saya lebih memilih yang diajukan DPR daripada DIM pemerintah. Tetapi, kalau boleh lagi, idealnya, justru banyak konsep yang harus diubah dulu,” ujar Ardana.

Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved