Jumat, 3 Oktober 2025

Tragedi Kanjuruhan: Koalisi masyarakat sipil temukan ‘kejanggalan’ dalam proses hukum yang ‘diduga dirancang untuk gagal’

Koalisi masyarakat sipil mendesak kepolisian untuk membuka kembali penyelidikan dan penyidikan tragedi Kanjuruhan, setelah proses…

Koalisi masyarakat sipil mendesak kepolisian untuk membuka kembali penyelidikan dan penyidikan tragedi Kanjuruhan, setelah proses hukum yang berjalan sejauh ini dinilai “penuh kejanggalan” dan “belum mengungkap secara utuh” peristiwa yang menewaskan 135 orang tersebut.

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menduga bahwa proses hukum tragedi Kanjuruhan “dirancang untuk gagal” dan “hanya menyasar aktor lapangan”.

“Sejak awal ini ada indikasi diniatkan untuk gagal. Dari penetapan tersangka enam orang, tapi tidak membawa pelaku penembak gas air mata ke tribun, itu jelas memutus prinsip kausalitas dalam pidana. Ini artinya ingin mengaburkan peristiwa yang sesungguhnya terjadi,” kata Isnur dalam konferensi pers di Jakarta pada Rabu (21/3).

Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari YLBHI, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), LBH Surabaya, LBH Pos Malang, Lokataru dan IM 57+ Institute mengklaim menemukan sejumlah kejanggalan berdasarkan pemantauan mereka sejak masa sebelum dan dalam proses pengadilan.

Mereka akan menyurati Presiden Joko Widodo, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, Kapolri Jenderal Listyo Sigit, dan Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk memastikan agar tragedi Kanjuruhan diusut secara tuntas sesuai rekomendasi Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF).

Kepolisian juga didesak untuk menindaklanjuti dugaan adanya “perintangan penyidikan” dalam kasus ini.

Baca juga:

Sebelumnya, Pengadilan Negeri Surabaya telah memvonis enam terdakwa kasus Kanjuruhan. Ketua Panitia Pelaksana Arema FC Abdul Haris divonis hukuman 1,5 tahun penjara, Security Officer Suko Sutrisno divonis satu tahun penjara, dan Danki III Brimob Polda Jawa Timur divonis 1,5 tahun penjara karena kelalaian yang menyebabkan kematian.

Sedangkan dua polisi, Kepala Bagian Operasi Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto dan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmad divonis bebas.

Menanggapi putusan itu, Fatia Maulidianti dari Kontras menilai proses persidangan ini “hanya bentuk formalitas dan tidak memutus rantai impunitas aparat”.

“Jadi seperti seakan-akan 135 nyawa yang meninggal seperti angin lalu, tidak ada tanggung jawab yang menyeluruh,” tutur Fatia.

Berikut sejumlah kejanggalan yang ditemukan oleh koalisi masyarakat sipil.

Dugaan perintangan penyidikan 'tidak pernah diusut'

Daniel Alexander Siagian dari LBH Pos Malang menyatakan kejanggalan-kejanggalan terkait pengungkapan tragedi Kanjuruhan terjadi sejak sebelum proses persidangan dimulai.

Dia menduga telah terjadi upaya-upaya untuk “merintangi penyidikan” sejak awal tragedi Kanjuruhan diusut. Itu terlihat dari temuan TGIPF yang menyebutkan bahwa ada rekaman CCTV yang dihapus selama lebih dari tiga jam sehingga menyulitkan tugas tim untuk mengetahui fakta yang terjadi.

Manajer Arema FC Ali Fikri pun sempat memberi keterangan kepada TGIPF bahwa pihak manajemen dilarang mengunduh CCTV oleh aparat kepolisian. Selain itu, ada dugaan rekaman CCTV itu akan diganti oleh polisi.

“Temuan ini tidak ditindaklanjuti secara serius oleh kepolisian dengan melakukan penyelidikan maupun penyidikan,” kata Daniel.

Masih terkait CCTV, dalam proses persidangan jaksa disebut tidak menampilkan hasil CCTV secara lengkap dan utuh dari berbagai sisi ketika peristiwa terjadi, terutama pada momen kematian massal terjadi. Padahal, terdapat 32 titik CCTV di area Stadion Kanjuruhan.

Sebelum proses pengadilan pun, muncul narasi yang dianggap “menyesatkan” terkait tragedi Kanjuruhan seperti Kapolda Jawa Timur bahwa tindakan pengamanan di stadion telah sesuai standar operasional prosedur (SOP).

Ditambah lagi adanya narasi menyudutkan suporter yang disampaikan oleh Polri soal temuan 46 minuman keras.

Keluarga korban pun sempat mengalami “kekerasan dan intimidasi”. Salah satunya dialami oleh keluarga korban Devi Atok sebelum dan stelah pelaksanaan ekshumasi.

Tidak mengurai peristiwa penembakan gas air mata

Hasil persidangan dinilai tidak dapat mengurai peristiwa penembakan gas air mata secara utuh, kata Daniel.

Koalisi mempertanyakan mengapa penyidik melakukan rekonstruksi perkara pada 19 Oktober 2022 di lapangan Markas Polda Jawa Timur, bukan di Stadion Kanjuruhan.

Dari 25 adegan yang direkonstruksi, Daniel menyebut tidak ada adegan penembakan gas air mata ke tribun penonton.

“Implikasinya pada tidak utuhnya fakta peristiwa yang terjadi dalam proses penegakan hukum,” ujar dia.

Koalisi menemukan fakta bahwa suporter juga mengalami penderitaan akibat penembakan gas air mata di luar stadion juga tidak diurai di dalam proses persidangan.

Dugaan aparat ‘melindungi aktor lain’

Koalisi menduga ada upaya dari aparat penegak hukum untuk melindungi aktor lain atas tragedi yang terjadi.

Fakta persidangan menunjukkan adanya perintah penembakan gas air mata dari Kasat Samapta Polres Malang kepada dua anggotanya, Danki Brimob Polda Jawa Timur kepada sembilan anggotanya, dan Danki Brimob Madiun kepada dua anggotanya.

“Tetapi proses hukum yang berjalan tidak menyeret anggota yang menembak gas air mata, yang diminta menembak gas air mata sehingga kami menduga ada upaya aparat untuk melindungi aktor lain,” tutur Daniel.

Keputusan majelis hakim yang menerima anggota Polri sebagai tim penasehat hukum terdakwa juga dinilai “tidak dapat dibenarkan” karena “berpotensi menimbulkan konflik kepentingan”.

Sejak penyidikan, Isnur dari YLBHI mempertanyakan mengapa Kapolri tidak membentuk tim khusus untuk mengusut kasus ini dari Bareskrim Polri.

“Kenapa penyidiknya masih penyidik Polda, yang diperiksa Brimob Polda, bagaimana mungkin Anda memeriksa teman Anda sendiri, apalagi tim penasehat hukumnya dari Polda juga. Jadi ini jelas-jelas permainan sangat kuat di tragedi Kanjuruhan,” kata Isnur.

Pasal yang dikenakan terhadap terdakwa pun dianggap “sangat ringan”, dengan Pasal 359, 360 ayat (1) dan ayat (2) KUHP serta Pasal 52 Undang-Undang 11 Tahun 2022 Tentang Keolahragaan.

“Hakim pun hanya menggali soal pelanggaran olahraganya, tidak menggali bagaimana hilangnya nyawa terjadi. Makanya hakim pada akhirnya sampai pada kesimpulan yang sangat ngaco, karena angin. Ini sangat memalukan peradilan di Indonesia,” tutur Isnur.

Akses persidangan ‘dibatasi’

Koalisi masyarakat sipil juga mengkritik akses persidangan yang sempat dibatasi. Pengadilan dinilai tidak memberi akses yang cukup bagi media dan keluarga korban ke persidangan.

“Akibatnya proses persidangan Kanjuruhan itu tidak mendapatkan perhatian atau atensi yang dapat menimbulkan tekanan bagi negara untuk mereformasi kepolisian, di mana ini penting dalam tragedi pelanggaran HAM dan kekerasan dalam sepak bola,” ujar Fatia.

Menurut mereka, setiap pemeriksaan di pengadilan semestinya dilakukan secara terbuka untuk umum berdasarkan Pasal 153 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) junto pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Terdakwa bahkan sempat hanya dihadirkan secara daring meski pemerintah telah mencabut kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Intimidasi anggota Brimob dalam persidangan

Puluhan aparat Brimob dinilai telah “mengintimidasi” dan “unjuk kekuatan” ketika mereka menerikkan yel-yel dalam proses persidangan pada tanggal 14 Februari 2023.

Menurut Isnur, penempatan Brimob dalam proses pengadilan pun sudah menimbulkan pertanyaan, kecuali apabila ada potensi kerusuhan dengan eskalasi tinggi.

“Ini sama sekali tidak ada kerusuhan di pengadilan sehingga Brimob dibutuhkan di sana. Kesatuan Brimob tidak mungkin bergerak tanpa perintah.”

Jangakan teriak, berjalan satu langkah saja kalau tidak ada perintah itu tidak bisa. Segala tindak tanduk di pengadilan semuanya adalah berbasis perintah, pertanggungjawabannya komando,” sambung dia.

Isnur mengaku telah melaporkan peristiwa ini kepada Divisi Profesi dan Pengamanan Polri untuk diusut, namun menurut dia, respons dari kepolisian pun "sangat lambat".

Sementara itu, Polrestabes Surabaya sebelumnya telah meminta maaf atas kejadian tersebut dan menyebut itu terjadi "secara spontan, tanpa ada perintah".

Tidak ada ‘perubahan berarti’ pasca-tragedi

Di luar proses hukum yang disebut “mengecewakan” dan “tidak memenuhi rasa keadilan bagi para korban”, koalisi masyarakat sipil juga menyoroti bagaimana rekomendasi TGIPF “tidak ditindaklanjuti secara menyeluruh” sampai saat ini.

Sejauh ini, koalisi masyarakat sipil tidak melihat ada evaluasi yang berarti pasca-tragedi Kanjuruhan.

“Ini tidak memberi dampak apa-apa pada perubahan tata kelola sepak bola Indonesia, tidak ada perubahannya,” ujar dia.

Oleh sebab itu, mereka mendesak pemerintah dan Komnas HAM segera memastikan agar seluruh lembaga dan kementerian menjalankan rekomendasi TGIPF.

Di dalam rekomendasinya, TGIPF meminta Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), PT Liga Indonesia Baru, panitia pelaksana pertandingan, security officer, Polri, TNI, hingga sejumlah kementerian berbenah.

Poin-poinnya mencakup agar pihak terkait memprioritaskan faktor risiko dalam pertandingan, menghindari konflik kepentingan di tubuh PSSI, menghentikan penggunaan gas air mata pada setiap pertandingan sepak bola, memastikan kesiapan pengamanan, hingga merenovasi stadion-stadion sepak bola di Indonesia sesuai standar keamanan FIFA.

Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved