Tragedi Kanjuruhan: Koalisi masyarakat sipil temukan ‘kejanggalan’ dalam proses hukum yang ‘diduga dirancang untuk gagal’
Koalisi masyarakat sipil mendesak kepolisian untuk membuka kembali penyelidikan dan penyidikan tragedi Kanjuruhan, setelah proses…
“Kenapa penyidiknya masih penyidik Polda, yang diperiksa Brimob Polda, bagaimana mungkin Anda memeriksa teman Anda sendiri, apalagi tim penasehat hukumnya dari Polda juga. Jadi ini jelas-jelas permainan sangat kuat di tragedi Kanjuruhan,” kata Isnur.
Pasal yang dikenakan terhadap terdakwa pun dianggap “sangat ringan”, dengan Pasal 359, 360 ayat (1) dan ayat (2) KUHP serta Pasal 52 Undang-Undang 11 Tahun 2022 Tentang Keolahragaan.
“Hakim pun hanya menggali soal pelanggaran olahraganya, tidak menggali bagaimana hilangnya nyawa terjadi. Makanya hakim pada akhirnya sampai pada kesimpulan yang sangat ngaco, karena angin. Ini sangat memalukan peradilan di Indonesia,” tutur Isnur.
Akses persidangan ‘dibatasi’
Koalisi masyarakat sipil juga mengkritik akses persidangan yang sempat dibatasi. Pengadilan dinilai tidak memberi akses yang cukup bagi media dan keluarga korban ke persidangan.
“Akibatnya proses persidangan Kanjuruhan itu tidak mendapatkan perhatian atau atensi yang dapat menimbulkan tekanan bagi negara untuk mereformasi kepolisian, di mana ini penting dalam tragedi pelanggaran HAM dan kekerasan dalam sepak bola,” ujar Fatia.
Menurut mereka, setiap pemeriksaan di pengadilan semestinya dilakukan secara terbuka untuk umum berdasarkan Pasal 153 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) junto pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Terdakwa bahkan sempat hanya dihadirkan secara daring meski pemerintah telah mencabut kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Intimidasi anggota Brimob dalam persidangan
Puluhan aparat Brimob dinilai telah “mengintimidasi” dan “unjuk kekuatan” ketika mereka menerikkan yel-yel dalam proses persidangan pada tanggal 14 Februari 2023.
Menurut Isnur, penempatan Brimob dalam proses pengadilan pun sudah menimbulkan pertanyaan, kecuali apabila ada potensi kerusuhan dengan eskalasi tinggi.
“Ini sama sekali tidak ada kerusuhan di pengadilan sehingga Brimob dibutuhkan di sana. Kesatuan Brimob tidak mungkin bergerak tanpa perintah.”
Jangakan teriak, berjalan satu langkah saja kalau tidak ada perintah itu tidak bisa. Segala tindak tanduk di pengadilan semuanya adalah berbasis perintah, pertanggungjawabannya komando,” sambung dia.
Isnur mengaku telah melaporkan peristiwa ini kepada Divisi Profesi dan Pengamanan Polri untuk diusut, namun menurut dia, respons dari kepolisian pun "sangat lambat".
Sementara itu, Polrestabes Surabaya sebelumnya telah meminta maaf atas kejadian tersebut dan menyebut itu terjadi "secara spontan, tanpa ada perintah".
Tidak ada ‘perubahan berarti’ pasca-tragedi
Di luar proses hukum yang disebut “mengecewakan” dan “tidak memenuhi rasa keadilan bagi para korban”, koalisi masyarakat sipil juga menyoroti bagaimana rekomendasi TGIPF “tidak ditindaklanjuti secara menyeluruh” sampai saat ini.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.