Kebayoran Baru dulu dan sekarang: Kisah perumahan Peruri, rumah Jengki, hingga CSW
Dibangun pada 1940-an, Kebayoran Baru adalah 'kota satelit' pertama di Indonesia, dan dahulu letaknya di luar Jakarta. Kini ada upaya untuk
"Lokasinya tidak jauh dari rumah makan McDonalds," ungkap Ade.
Di sinilah, menurutnya, masyarakat masih bisa menikmati "situs-situs bersejarah" di Kebayoran Baru "yang bisa dieksplor dan digali sejarahnya".
Peninggalan kota satelit' Kebayoran Baru lainnya adalah Masjid Al-Azhar, Gereja Katolik Santa Perawan Maria Ratu, Gereja Baptis, serta Gereja Santo Yohanes Penginjil.
"Yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kebayoran Baru belum banyak, tetapi [sebagian bangunan] sudah masuk ke dalam daftar obyek diduga cagar budaya," kata Nadia Purwestri.
Di antaranya yang sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya adalah masjid Al-Azhar dan Gereja Santo Yohanes Penginjil.
'Menyulap' perumahan Perum Peruri di Blok M
Sudah ada upaya untuk menyelamatkan bangunan lama dan bersejarah di Kebayoran Baru, salah-satunya di bekas perumahan Peruri di Blok M.
Tiga tahun lalu, Perum Peruri (BUMN) menggandeng sejumlah pihak untuk 'menghidupkan kembali' bekas perumahan itu yang lebih dari 24 tahun dibiarkan kosong.
Diubah menjadi ruang publik, bekas perumahan itu kini menjadi salah-satu lokasi yang diminati anak muda untuk berkumpul di waktu senggang.
M Bloc Space, begitu nama tempatnya, mampu mengubah fungsi bangunan rumah menjadi restoran, kafe atau aktivitas bisnis lainnya, dengan tetap mempertahankan bentuk asli bangunan.
"[Perubahan fungsi pada] M Bloc itu cukup ideal, karena tidak mengubah wajah perumahan Peruri secara masif," kata Nadia Purwestri, arsitek yang juga pimpinan Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA) dalam wawancara dengan BBC News Indonesia.
Ade Purnama, pendiri komunitas Sahabat Museum, juga mengapresiasi langkah Peruri dalam merevitalisasi bekas perumahan karyawannya itu.
"Aksi yang positif dan berhasil [di M Bloc Space]. Saya berharap pada bangunan lain [di Kebayoan Baru atau tempat lainnya] itu bisa dikonservasi dan direstorasi, tanpa menghilangkan nilai historisnya," kata Ade.
Dia menyebut perubahan fungsi bekas perumahan Peruri itu sebagai upaya menyelamatkan bangunan bersejarah, tetapi tanpa meninggalkan "tuntutan zaman".
'Saya dulu tinggal di sini... tidur di sini' - Kisah di balik perubahan perumahan Peruri menjadi restoran 'Kedai Tjikini'
Suatu hari, Dharmawan Handonowarih, pimpinan Kedai Tjikini di M Bloc Space, kedatangan tamu istimewa.
Sang tamu merasa takjub saat melihat ke dalam restoran milik Dharmawan.
Rupanya mereka adalah keluarga yang dulu pernah menempati rumah itu. Sang tamu adalah keluarga pegawai Peruri.
"Saya dulu tinggal di sini. Saya tidur di sini dulu..." ujar bekas penghuni, seperti ditirukan Dharmawan. "Mereka senang, karena [rumahnya] tidak diancurin."
Dharmawan mengenang hal itu sambil mengajak saya ke lantai dua restorannya. Kami naik tangga yang tegel dan pagar besinya masih 'asli'.
"Akhirnya kita melakukan beberapa penyesuaian. Yang semula sebuah rumah, kita ubah dengan fungsi baru sebagai restoran. Semua ada penyesuaian," jelasnya kepada BBC News Indonesia.
Ada beberapa penyesuaian lainnya yang dilakukan Dharmawan. Misalnya, membongkar keramik dan mengganti dengan tegel yang mirip dengan rumah tahun 1950-an.
Lainnya, Dharmawan mengecat ulang dinding, pintu, dan jendela, yang sedapat mungkin diupayakan menyerupai rumah aslinya.
Namun di sisi lain, pria bekas wartawan ini mempertahankan beberapa sudut dari interior rumah itu.
"Misalnya lubang angin berukuran besar ini, saya yakin seperti ini bangunan aslinya," ujarnya.
Hal itu dia tekankan, karena pihak pengelola M Bloc Space telah memberikan rambu-rambu perubahan seperti apa yang diperbolehkan.
"Misalnya saja tampak depan, tangga dan pagarnya, tidak boleh diubah," katanya.
Dharmawan adalah tipikal sosok yang memiliki kepedulian atas pelestarian bangunan lama - selain ketertarikannya pada dunia makanan tradisional Indonesia.
Sebelum ditawari pengelola M Bloc Space untuk membuka restoran di sana, Dharmawan memiliki pengalaman saat menyulap bangunan lama di Jalan Cikini Raya menjadi sebuah restoran.
"Seperti semangat di Cikini, kami mencoba untuk menghidupkan kembali sebuah rumah [milik Peruri di Blok M) tahun '50-an," ungkapnya.
Kini, tiga tahun kemudian, Dharmawan mengaku "cukup puas" setelah secara totalitas menyulap rumah Peruri menjadi sebuah restoran, tanpa mengubah secara masif bangunannya.
Di sinilah, dia kemudian mengenalkan istilah "keseimbangan", ketika saya bertanya tentang tuntutan pelestarian bangunan lama bersejarah dan keniscayaan sebuah perubahan.
"[Bangunan lama tertentu] Harus dijaga, tanpa harus dia menjadi museum yang mati, jadi barang antik, yang hanya dipandang sebagai romantisme. Dia harus bisa hidup juga..." tandasnya.
Ketika jarum jam mendekati pukul tujuh malam, konsumen Kedai Tjikini terlihat makin banyak.
Saya kemudian membayangkan saat rumah-rumah di kompleks perumahan pegawai Peruri itu dibiarkan kosong puluhan tahun.
'Tak kenal, maka tak sayang... kenali dan cintai kotamu'
Tidak sedikit yang menyesalkan pembongkaran dan perusakan bangunan lama dan kemungkinan bersejarah di Kebayoran Baru.
Bagi Nadia Purwestri, salah-satu cara yang bisa dilakukan agar masyarakat peduli adalah dengan mengenalkan sejarah sebuah kota.
"Ada pepatah 'tak kenal maka tak sayang'. Nah, demikian juga untuk urusan pelestarian.
"Jadi kalau masyarakat tidak mengenal sejarah kotanya, tidak mengenal di mana dia tinggal, maka masyarakat itu tidak akan mau melestarikan apa yang ada di kota tersebut," kata Nadia.
Karenanya, pihaknya berusaha untuk memperkenalkan sejarah kota maupun sejarah bagian-bagian kota - seperti Kebayoran Baru - ke masyarakat.
"Dengan info seperti itu, mereka [warga] menjadi berfikir 'wah, sayang juga kalau misalnya wajah kota satelit pertama yang ada di sini tiba-tiba sudah berganti," jelasnya.
Pada Maret 2022 lalu, Nadia menjadi pembicara dalam acara Plesiran Tempo Doeloe: Kebajoran bikinan CSW secara virtual yang digelar oleh Komunitas Sahabat Museum.
Ade Purnama, pimpinan Sahabat Museum, mengatakan, acara itu digelar agar "generasi muda supaya lebih mengenal dan mencintai kotanya, serta lebih memiliki rasa memiliki terhadap kotanya..."
----
Sebagian besar foto di atas dimuat atas izin dari pemiliknya, Nadia Purwestri (Pusat Dokumentasi Arsitektur) dan Ade Purnama(Komunitas Sahabat Museum).
Foto-foto tersebut ditayangkan saat acara 'Plesiran Tempo Doeloe: Kebajoran bikinan CSW, Maret 2022, oleh Komunitas Sahabat Museum.