Konflik Rusia Vs Ukraina
Pejabat Intel Sebut Putin Ingin Memecah Belah Ukraina seperti Korea Utara dan Selatan
Seorang pejabat intelijen menuduh Rusia ingin memecah belah Ukraina seperti Korea Utara dan Korea Selatan.
TRIBUNNEWS.COM - Seorang pejabat intelijen menuduh Rusia ingin memecah belah Ukraina seperti Korea Utara dan Korea Selatan.
Kyrylo Budanov, kepala intelijen pertahanan Ukraina, menilai pasukan Rusia mencoba menerapkan "skenario Korea" setelah gagal merebut Kyiv dan invasi terus terhenti.
Budanov menyebut, Presiden Vladimir Putin 'si tukang jagal' akan segera melancarkan perang gerilya di wilayah yang berhasil diduduki Rusia.
Ini dilakukan, katanya, sebagai upaya untuk memisahkan wilayah yang dikuasai Moskow.

Baca juga: Jadi Tuan Rumah Pertemuan Kabinet Hari Ini, Erdogan Bahas Peran Turki Sebagai Mediator Rusia-Ukraina
Baca juga: Negosiasi Rusia dan Ukraina Putaran Berikutnya Akan Digelar di Istanbul Turki
Dalam sebuah pernyataan yang dirilis Kementerian Pertahanan, Budanov mengatakan Putin menyadari "dia tidak bisa menelan seluruh negara".
Sehingga menurutnya, Presiden Rusia itu mencoba membagi negara seperti Korea Selatan dan Korea Utara.
"Para penjajah akan mencoba menarik wilayah yang diduduki menjadi satu struktur kuasi-negara dan mengadunya dengan Ukraina yang merdeka," tambahnya, dikutip dari The Sun.
Budanov menunjukkan upaya Rusia untuk mendirikan pemerintahan paralel di kota-kota yang diduduki dan menghentikan penduduk menggunakan mata uang Ukraina.
Ia yakin Putin sekarang memprioritaskan wilayah Ukraina timur dan selatan.
Peringatan ini dipicu aksi satu pemimpin daerah yang dikuasai separatis di Donbas, mengaku ingin mengadakan pemungutan suara untuk bergabung dengan Rusia.
Leonid Pasechnik, kepala Republik Rakyat Luhansk yang memproklamirkan diri, mengatakan pihaknya berencana mengadakan referendum untuk bergabung dengan Rusia dalam waktu dekat.
Rusia mendukung kelompok separatis di Luhansk dan Donetsk sejak pemberontakan meletus setelah Moskow mencaplok Semenanjung Krimea dari Ukraina pada 2014.

Dalam pembicaraan dengan Ukraina, Moskow menuntut Kyiv mengakui kemerdekaan Donetsk dan Luhansk.
Sebelumnya, beberapa hari sebelum invasi, Putin mengakui kemerdekaan dua wilayah yang dikenal dengan sebutan Donbas itu.
Ukraina Sebut Barat Pengecut
Sementara itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menuduh Barat pengecut karena hanya pasukannya yang berani mencegah pasukan invasi.
Zelensky meminta lebih banyak pasokan jet tempur dan tank untuk membantu mempertahankan diri dari pasukan Putin.
Dia mendesak para pemimpin Barat untuk menyerahkan persenjataan "berdebu" dalam timbunan.
"Saya sudah berbicara dengan para pembela Mariupol hari ini. Saya terus-menerus berhubungan dengan mereka. Tekad, kepahlawanan, dan keteguhan mereka mencengangkan," kata Zelensky dalam pidato di video, Minggu (27/3/2022).
"Andai saja mereka yang telah berpikir selama 31 hari tentang bagaimana menyerahkan lusinan jet dan tank memiliki satu persen dari keberanian mereka," ujarnya, mengacu kepada NATO.
Pernyataannya muncul setelah Joe Biden memicu kekacauan dengan menyebut bahwa Putin "tidak bisa tetap berkuasa".

Baca juga: Reznikov: Ukraina Telah Tunjukkan Bahwa Tak Ada Tempat Bagi Diktator di Dunia Demokrasi
Baca juga: Sepasang Suami Istri dan Anak Berusia 3 Tahun Tewas Diserang Pasukan Rusia di Wilayah Kharkiv
Gedung Putih memberi klarifikasi bahwa Presiden AS itu tidak menyerukan perubahan rezim dalam pidatonya di Polandia kemarin.
"Seperti yang Anda ketahui, dan seperti yang Anda dengar kami katakan berulang kali, kami tidak memiliki strategi perubahan rezim di Rusia atau di tempat lain," kata Menteri Luar Negeri AS, Anthony Blinken, pada Minggu (27/3/2022).
"Dalam hal ini, atau dalam kasus apa pun, terserah orang-orang di negara yang bersangkutan. Terserah orang-orang Rusia," tambah Blinken.
Para ahli mengatakan kesalahan itu, akan diartikan Rusia sebagai konfirmasi bahwa AS bertekad untuk menggulingkan Putin.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)