Kerangkeng manusia di Langkat: Penegakan hukum ‘berjalan lambat’ di tengah temuan keterlibatan aparat, mengapa polisi belum menetapkan tersangka?
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Sumatra Utara mengatakan
LPSK menyatakan lambatnya penanganan kasus akan membuat banyak saksi dan korban enggan memberi keterangan, karena merasa tidak ada kepastian hukum dan jaminan keamanan dari negara.
Menurut Maneger Nasution, sampai saat ini "masih sedikit" saksi dan korban yang mau memberi keterangan dan meminta perlindungan ke LPSK.
Meski kasus ini telah menjadi sorotan nasional, dia mengatakan ketakutan para saksi dan korban untuk mau melapor masih terasa hingga saat ini.
"Semakin cepat ini diproses, ini bisa menjadi penguat bagi korban dan saksi bahwa kalau melapor itu ada manfaatnya, keselamatan juga terjaga," tuturnya.
Selain itu, lambatnya penanganan kasus ini membuat kehadiran negara dalam pemulihan saksi dan korban menjadi tidak maksimal.
"Yang mestinya diterima semua saksi dan korban, tapi karena tidak semua melapor, hak mereka jadi tidak bisa diberikan negara," kata Maneger.
Komnas HAM sendiri sebelumnya meminta agar penegak hukum memastikan berapa banyak orang yang menjadi korban dari kerangkeng manusia itu.
Dalam kondisi terakhir ketika kerangkeng itu ditemukan petugas KPK, terdapat 57 orang yang menghuninya. Sedangkan sebelumnya, polisi sempat menyebut jumlah penghuninya mencapai 656 orang sejak 2010.
Komnas HAM juga menduga jumlah korban yang tewas mencapai enam orang, namun sampai saat ini polisi baru mengusut tiga laporan kematian korban.
Untuk mempercepat penanganan kasus ini di tengah "tarik menarik di tataran lokal", LPSK menyarankan agar pemerintah pusat turun tangan, bahkan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta.
"Penanganan yang lambat dan berlarut-larut tidak menutup kemungkinan peristiwa di tempat lain tidak terungkap, karena dianggap percuma mengungkap," kata dia.
Sebelumnya diberitakan, Komnas HAM menyatakan telah terjadi 12 bentuk pelanggaran HAM terhadap penghuni kerangkeng itu melalui sebuah praktik perbudakan dan kekerasan yang berpola.
Komnas HAM juga menemukan ada 26 jenis kekerasan yang terjadi, seperti dipukuli, ditempeleng, ditendang, diceburkan ke kolam ikan, diperintahkan untuk bergelantungan di kereng seperti monyet atau yang mereka kenal dengan istilah "gantung monyet".
Para korban juga dipekerjakan tanpa upah di sejumlah kebun sawit, termasuk milik Bupati Terbit, tanpa diupah.
Sedangkan hasil penyelidikan LPSK menemukan dugaan perdagangan orang, pembunuhan, hingga penganiayaan berat.
Bahkan, ada korban yang mengaku "dipaksa minum air kencing hingga mengalami kekerasan seksual seperti sodomi".