Afghanistan: Kisah wartawan perempuan Selandia Baru yang sedang hamil dibantu Taliban
Selandia Baru akhirnya memberikan izin masuk kepada Charlotte Bellis, yang sempat meminta bantuan kepada Taliban.
Ketika ia berbicara dengan seorang pejabat senior Taliban, Bellis sedang berada di Belgia bersama pasangannya, seorang jurnalis foto asal Belgia. Namun, masa berlaku visanya hampir habis karena ia bukan penduduk di sana.
Satu-satunya visa yang dimilikinya dan pasangannya adalah Afghanistan, karena mereka pergi ke sana tahun lalu untuk meliput penarikan pasukan AS.
"Anda boleh datang dan tidak akan ada masalah. Cukup beri tahu orang-orang bahwa Anda sudah menikah dan jika terjadi eskalasi, hubungi kami," kata Bellis mengutip pernyataan pejabat yang tidak disebutkan namanya itu ketika menanggapi permintaannya.
"Ketika Taliban menawarkan Anda - seorang perempuan hamil yang belum menikah - tempat yang aman, Anda tahu situasi Anda lagi kacau," tulisnya.
Para ibu tunggal di Afghanistan dilaporkan kerap dilecehkan oleh pejabat Taliban, ditekan untuk menyerahkan anak-anak mereka, dan hak asuh mereka diancam akan dicabut.
Apa respons dari tulisan kolomnya?
Setelah surat Bellis diterbitkan, pihak berwenang Selandia Baru diminta untuk menyesuaikan kriteria alokasi karantina darurat agar secara khusus melayani perempuan hamil.
Pihak berwenang membela kebijakan itu pada Senin kemarin, mengatakan sistem tersebut telah "melayani Selandia Baru dengan sangat baik, menyelamatkan nyawa dan menekan angka perawatan di rumah sakit, serta menjaga sistem kesehatan kita agar tidak kewalahan".
Pemerintah juga mengatakan Bellis telah disarankan untuk kembali mengajukan permohonan visa di bawah kategori darurat yang lain.
Tidak jelas apakah itu yang terjadi, atau apakah ia sekarang diberikan izin masuk berdasarkan permohonan awalnya.
Bellis mengatakan bahwa ia juga telah ditawari suaka di negara lain yang tidak disebutkan namanya sejak go public dengan kesulitannya.
Namun, ceritanya juga mendapat kritik dari beberapa pengamat, aktivis hak asasi manusia, dan warga Afghanistan sendiri.
12 days since the Taliban abducted Tamana Paryani, her 3 sisters & Parwana Ibrahimkhil. No one knows where they are and what’s happened to them. Yet, we continuously see privileged people praising the Taliban.There are many ways to question one’s gov without praising the Taliban pic.twitter.com/O5xeyVXJWC
— sahar fetrat (@Sahar_fetrat) January 30, 2022
[removed][removed]
"Ceritanya hanyalah kelanjutan dari bagaimana orang-orang non-Afghanistan diperlakukan berbeda oleh Taliban ... daripada orang Afghanistan," kata jurnalis Austria-Afghanistan Emran Feroz dalam sebuah twit.
"Wartawan yang dipandang sebagai warga Afghanistan kerap menghadapi ancaman, pemukulan, penyiksaan, dan pembunuhan sementara orang-orang non-Afghanistan ... mendapat banyak hak istimewa serta disambut dan diperlakukan dengan lembut oleh semua pihak," tambahnya.
Baru-baru ini, ada desakan pada Taliban agar membebaskan sejumlah aktivis hak-hak perempuan yang belum terlihat setelah rumah mereka digerebek dan mereka ditangkap.