Terancam Kelaparan, Korea Utara Minta Penduduk Mengurangi Makan Sampai Tahun 2025
Korea Utara mengimbau penduduknya untuk mengurangi makan setidaknya sampai tahun 2025, menurut laporan.
TRIBUNNEWS.COM - Korea Utara mengimbau penduduknya untuk mengurangi makan setidaknya sampai tahun 2025, menurut laporan.
Diwartakan Fox News dari laporan Radio Free Asia (RFA), kekurangan makanan di negara komunis ini terjadi karena penutupan perbatasan dengan China selama pandemi Covid-19.
Korea Utara sudah satu tahun ini menutup perbatasannya dari China terhitung sejak 2020 lalu.
Sayangnya, kebijakan untuk menahan penularan Covid-19 tersebut justru melemahkan ekonomi Korea Utara.
Menurut laporan, harga pangan melambung tinggi hingga terjadi kematian akibat kelaparan.
Baca juga: 5 Dokumen Penting yang Dihasilkan pada KTT Ke-22 ASEAN-Korea Selatan
Baca juga: Kim Jong Un Sebut Persenjataannya Hanya untuk Pertahanan, Salahkan Tekanan dari AS dan Korea Selatan

Sejumlah penduduk Korut menilai permintaan rezim untuk mengurangi makan ini menunjukkan pemimpin tidak menyadari risiko besar di balik krisis ini.
"Dua minggu lalu, mereka mengatakan dalam pertemuan unit penjaga lingkungan bahwa darurat pangan kami akan berlanjut hingga 2025."
"Pihak berwenang menekankan bahwa kemungkinan membuka kembali bea cukai antara Korea Utara dan China sebelum 2025 sangat tipis," kata seorang penduduk kota perbatasan Sinuiju kepada Layanan RFA Korea pada 21 Oktober.
"Situasi pangan saat ini sudah jelas darurat, dan orang-orang berjuang dengan kekurangan."
"Ketika pihak berwenang memberi tahu bahwa masyarakat perlu menghemat dan mengonsumsi lebih sedikit makanan hingga tahun 2025, mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain merasa sangat putus asa," tambahnya.
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB dalam laporannya mengatakan, sekitar 40% populasi Korea Utara diperkirakan kekurangan gizi.
Negara pimpinan Kim Jong Un ini juga dikatakan mengalami kekurangan makanan tahun ini sekitar 860.000 ton, atau setara makanan untuk dua bulan.
Lebih lanjut, sumber anonim ini mengatakan kepada RFA, pengumuman untuk 'mengencangkan ikat pinggang' alias mengurangi makan menimbulkan ketidakpercayaan dan kebencian kepada rezim.

"Beberapa penduduk mengatakan bahwa situasi saat ini sangat serius sehingga mereka tidak tahu apakah mereka dapat bertahan hidup di musim dingin yang akan datang."
"Mereka mengatakan bahwa menyuruh kami bertahan dalam kesulitan sampai 2025 sama dengan menyuruh kami mati kelaparan," kata sumber tersebut.
Di Kota Hoeyrong, pejabat mencoba mengalihkan imbauan untuk mengurangi makan dengan menceritakan keberhasilan penanganan pandemi Covid-19 di Korea Utara.
"Mereka mengatakan pada pertemuan itu bahwa situasi virus corona di negara lain sangat buruk. Jumlah kematian terkait virus corona meningkat pesat setiap hari di seluruh dunia," kata sumber kedua.
"Tetapi penduduk tidak mempercayai penjelasan itu dengan mengatakan, 'Tidak peduli betapa sulitnya situasinya, di mana di Bumi yang mengalami lebih banyak kesulitan daripada kami?'" ujar sumber kedua.
Sumber anonim ini mengatakan, publik menilai Kim Jong Un tidak menyadari betapa seriusnya krisis pangan saat ini.
Masyarakat juga khawatir perbatasan akan terus ditutup sekalipun mereka sekarat karena kelaparan.
Pemerintah Korea Utara sebelumnya telah mendorong negaranya untuk dapat lepas dari ketergantungan impor.
Dalam kongres ke-8 Partai Buruh Korea Utara pada Januari lalu, Kim Jong Un berpesan agar negara dapat mengurangi ketergantungan impor serta mandiri.

Baca juga: Kondisi Ekonomi Suram, Kim Jong Un Desak Pejabat Fokus Urusi Nasib Rakyat
Baca juga: Jelang Halloween, Ini 5 Drama Korea Horor yang Wajib Kamu Tonton
Pada April, pihak berwenang mengatakan kepada masyarakat untuk bersiap jatuh dalam situasi ekonomi yang lebih buruk daripada insiden kelaparan 1994-1998 yang menewaskan jutaan orang.
Kemudian pada Juli, Komite Sentral memerintahkan warga untuk mulai menanam makanannya sendiri.
Ini dilakukan untuk mengantisipasi kekurangan pangan yang bisa berlangsung selama tiga tahun.
Sumber mengatakan masyarakat kesal karena pemerintah seakan melalaikan tanggung jawabnya.
Orang-orang hanya diberi tahu untuk mencari makanannya sendiri tanpa melakukan upaya untuk menyelesaikan krisis ini.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)