China salurkan utang dan hibah Rp12 kuadriliun ke 165 negara: Pemberi pinjaman yang baik atau lintah darat?
China menyediakan pinjaman dua kali lebih tinggi dari AS - sebagian besar pinjaman berbunga tinggi dari bank-bank milik pemerintah.
Negara-negara bisa menjadi peminjam yang sulit [untuk ditagih], jelas Gelpern, dan tidak praktis mengharapkan mereka menyerahkan aset secara fisik seperti pelabuhan, jika mereka tak mampu membayar utang.
China mungkin akan segera menghadapi kompetisi dari dunia internasional. Pada pertemuan negara-negara maju, G7, Juni lalu, AS dan sekutunya mengumumkan inisiatif "Build Back Better World" initiative, dengan janji untuk mendanai proyek infrastruktur global yang berkelanjutan secara finansial dan lingkungan.
Namun, rencana itu mungkin datang terlambat.
"Saya ragu kalau inisiatif negara-negara Barat akan membuat banyak tekanan pada program China," kata David Dollar, peneliti di Brookings Institution sekaligus mantan perwakilan Departemen Keuangan AS di China.
"[Inisiatif-inisiatif baru itu] tidak akan cukup uang riil untuk mengatasi skala kebutuhan infrastruktur yang dibutuhkan di negara berkembang. Juga, bekerja sama dengan otoritas keuangan Barat itu birokratis dan dapat tertunda dalam jangka waktu lama."
Para peneliti AidData menemukan bahwa proyek Belt and Road (BRI) sedang menghadapi persoalannya sendiri. Proyek BRI lebih cenderung dikaitkan dengan korupsi, persoalan perburuhan, atau isu lingkungan dari pada kesepakatan pembangunan China yang lainnya.
Untuk menjaga agar BRI tetap pada jalurnya, para peneliti mengatakan, Beijing tak akan punya pilihan selain mengatasi kekhawatiran peminjam.
Proyek China di Indonesia
Sejak Presiden Xi Jinping mempromosikan program ambisiusnya 2013, saat itu ia sempat berkunjung ke Jakarta untuk menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam pertemuan itu, Indonesia meneken puluhan kesepakatan kerja sama dengan China terkait dengan pertambangan, bubur kertas, properti, jalur kereta api, infrastruktur dan semen. Total nilai komitmen kerja sama mencapai $28,2 miliar (Rp401 triliun).
"Kita sekali lagi membuat sejarah dengan menyepakati untuk menjalin kerja sama strategis yang komprehensif. Saya yakin di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping kita akan dapat meningkatkan kerja sama bilateral kita di masa depan," kata Presiden RI saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, seperti dikutip Antara.
Pada 2017, kerja sama terkait dengan program BRI berlanjut. Presiden Joko Widodo berada di antara 29 kepala negara dan perwakilan yang ikut serta dalam "Belt and Road Forum for International Cooperation". Dalam kesempatan itu, Presiden Xi mengumumkan telah menyiapkan anggaran $55,09 miliar untuk mendukung proyek BRI untuk perluasan jaringan antara Asia, Afrika dan Eropa.
Satu bulan pasca dilantik menjadi presiden periode 2014-2019, Joko Widodo juga melakukan kunjungan kehormatan ke Presiden Xi Jinping. Antara melaporkan kedua kepala negara melakukan pembicaraan bilateral membahas perkembangan hubungan dan kerja sama kedua negara.
Pada 2019, Wakil Presiden saat itu, Jusuf Kalla, juga menghadiri Forum BRI di China. Hasil dari pertemuan itu di kemudian hari menghasilan 23 proyek kerjasama Indonesia-China yang akan dibangun di Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Maluku dan Bali.
Proyek-proyek tersebut meliputi, pembangunan kawasan industri dan infrastruktur penunjang Taman Kuning, Kaltara, proyek pembangkit listrik hasil olahan sampah di Sulawesi Utara dan Taman Teknologi di Pulau Kura-kura di Bali.