Selasa, 7 Oktober 2025

China salurkan utang dan hibah Rp12 kuadriliun ke 165 negara: Pemberi pinjaman yang baik atau lintah darat?

China menyediakan pinjaman dua kali lebih tinggi dari AS - sebagian besar pinjaman berbunga tinggi dari bank-bank milik pemerintah.

Kesepakatan yang tidak seimbang ini membuat kreditur internasional menurunkan peringkat kredit Laos dengan status "sampah". Status ini menunjukkan pemerintah mungkin tak punya cukup uang untuk membayar utangnya.

Pada September 2020, dalam kondisi di ambang kebangkrutan, Laos menjual sebagian besar aset utamanya kepada China. Laos menyerahkan sebagian jaringan energinya senilai $600 juta (Rp8,54 triliun) untuk mendapatkan keringanan utang dari kreditur China. Ini terjadi bahkan sebelum pembangunan rel kereta dimulai.

Jalur kereta api Laos bukan hanya satu-satunya proyek berisiko yang didanai oleh bank-bank pemerintah China, namun, AidData mengatakan China tetaplah penyandang dana bagi banyak negara-negara berpendapatan menengah dan ke bawah.

"Dalam setahun, rata-rata lembaga keuangan pembangunan internasional China berkomitmen untuk mengeluarkan pinjaman sebesar $85 miliar (Rp1,21 kuadriliun). Jika dibandingkan, AS hanya menyediakan $37 miliar (Rp527,1 triliun) pada tahun tertentu untuk mendukung aktivitas pembangunan global," kata Brad Parks.

China telah jauh melampaui negara-negara lain dalam pendanaan pembangunan, tapi cara Beijing untuk mencapai angka tersebut "luar biasa", kata AidData.

China
BBC

Di masa lalu, negara-negara Barat bersalah karena menjerumuskan negara-negara Afrika ke lubang utang.

China meminjamkan dengan cara berbeda: alih-alih mendanai proyek dengan cara memberikan hibah atau meminjamkan uang dari satu negara ke negara lainnya, hampir semua uang itu didapatkan dalam bentuk pinjaman bank milik pemerintah China.

Pinjaman tersebut tak muncul dalam pembukuan resmi pemerintah. Karena itulah nama lembaga pemerintah pusat tidak muncul dalam banyak kesepakatan antara bank dengan negara peminjam. Hal semacam ini agar neraca perekonomian China tetap terjaga, serta menyembunyikan klausul-klausul kerahasiaan yang bisa mencegah pemerintah mengetahui secara pasti apa yang telah disepakati secara sembunyi-sembunyi.

AidData menghitung utang yang tak dicatat dalam pembukuan resmi pemerintah China mencapai $385 miliar.

Banyak kesepakatan dalam pinjaman jangka pendek China juga menuntut agunan yang tak biasa. Semakin meningkat, utang China tampaknya menuntut peminjam untuk menjanjikan uang tunai yang berasal dari penjualan sumber daya alam.

Kesepakatan dengan Venezuela misalnya, menuntut mereka menyetor mata uang asing [sebagai deposito] yang diperoleh dari penjualan minyak secara langsung ke rekening bank yang dikendalikan pemerintah China. Jika pembayaran utang lewat tenggat waktu, pemberi pinjaman dari China dapat segera menarik uang tunai dari rekening tersebut.

"Ini benar-benar nampak seperti strategi roti dan mentega, yang mereka gunakan untuk memberikan sinyal kepada para peminjam bahwa 'Kamilah bosnya'," jelas Brad Parks. Pesan mereka adalah: 'Kalian akan kembali bayar utang pada kami sebelum yang lain, karena kamilah satu-satunya sangat penting untuk kalian.'

"Ini pendapatan bagi negara-negara miskin, dolar dan euro, untuk mengunci mereka dalam di rekening luar negeri yang dikontrol oleh kekuatan asing."

"Apakah China pintar?" tanya Anna Gelpern, seorang professor hukum Georgetown yang terlibat dalam penelitian AidData awal tahun ini. Ia terlibat dalam pemeriksaan kontrak utang dari China.

Halaman
1234
Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved