Taliban: Dulu melarang internet dan hancurkan pesawat televisi dan kamera, sekarang sangat aktif manfaatkan media sosial
Saat berkuasa di Afghanistan pada pertengahan 1990-an, Taliban melarang internet. Kini, mereka sangat aktif menggunakan media sosial untuk mempromosikan
Kepada BBC, Khosty mengungkapkan bahwa timnya memiliki grup-grup tersendiri yang terfokus pada Twitter - yang mengupayakan tagar Taliban jadi tren - dan penyebarluasan pesan lewat WhatsApp dan Facebook.
"Musuh-musuh kami punya televisi, radio, dan akun-akun terverifikasi di media sosial, sedangkan kami tidak punya. Namun kami tetap berjuang lewat Twitter dan Facebook dan bisa mengalahkan mereka," kata Khosty.
Tugasnya adalah, lanjut dia, membawa mereka yang sudah bergabung ke Taliban karena ideologinya "ke platform media sosial sehingga mereka bisa memperkuat pesan kami".
Lebih terfokus ke Twitter
Ada sekitar 8,6 juta pengguna internet di Afghanistan dan tiadanya jaringan dan layanan data yang terjangkau masih menjadi kendala utama.
Khosty mengatakan tim medsos IEA memberi insentif 1.000 Afghani (sekitar Rp164.000) per bulan untuk paket data kepada para anggota tim untuk "berjuang di medan perang online".
Dia mengeklaim bahwa IEA "punya empat studio lengkap dengan perangkat multimedia yang digunakan untuk meningkatkan pencitraan lewat audio, video, dan digital".
Hasilnya adalah video-video propaganda berkualitas tinggi yang menyanjung para petempur Taliban berikut peperangan mereka atas pasukan asing dan pemerintah, yang tersebar luas di akun YouTube mereka dan laman Al-Emarah.
Kelompok itu mempublikasikan konten secara gratis di Twitter dan YouTube, namun Facebook telah mencap Taliban sebagai "organisasi berbahaya" dan secara rutin menghapus akun dan laman yang dikaitkan dengan kelompok tersebut.
Facebook mengatakan akan terus melarang konten Taliban di platformnya.
Kepada BBC, Khosty mengaku bahwa Taliban sulit untuk menyebarkan publikasi mereka di Facebook, sehingga terfokus ke Twitter.
Sebenarnya Departemen Luar Negeri AS sudah memasukkan Jaringan Haqqani sebagai kelompok teroris internasional. Namun pemimpin mereka, Anas Haqqani, dan banyak anggotanya punya akun di Twitter dan masing-masing punya ribuan pengikut.
- Pengungsi Afghanistan di Indonesia yang 'terlupakan', bunuh diri dalam penantian
- Warga Afghanistan di bawah Taliban, 'setiap orang ketakutan'
Tanpa bersedia diungkap identitasnya, seorang anggota tim medsos Taliban kepada BBC mengungkapkan bahwa mereka memutuskan untuk menggunakan Twitter dalam menyebarkan suatu artikel opini dari harian The New York Times yang ditulis oleh Sirajuddin Haqqani, wakil pemimpin Taliban, pada Februari 2020.
Terkait artikel itu dibuatlah sejumlah akun aktif di Twitter.
"Sebagian besar warga Afghanistan tidak mengerti bahasa Inggris, namun pimpinan rezim Kabul secara aktif berkomunikasi dalam bahasa Inggris di Twitter - karena audiens mereka bukan warga Afghanistan melainkan masyarakat internasional," ujarnya.