Arab Saudi dan Uni Emirat Arab bersitegang, harga minyak jadi naik - mengapa bisa terjadi?
Polemik Arab Saudi dan Uni Emirat Arab menyebabkan kesepakatan kelompok negara pengekspor minyak ditangguhkan
Januari lalu, UEA dengan berat hati menerima kesepakatan yang digalang Saudi untuk mengakhiri embargo atas Qatar, walau mereka belum sepenuhnya akur dengan Doha.
Sebaliknya, Arab Saudi tidak begitu antusias melihat UEA menormalisasi hubungan dengan Israel tahun lalu.

Keretakan makin lebar Februari lalu saat Arab Saudi mengeluarkan ultimatum kepada perusahaan-perusahaan multinasional untuk merelokasi kantor regional mereka ke kerajaan itu selambatnya tahun 2024 bila tidak ingin kehilangan kontrak proyek.
Kebijakan ini dilihat sebagai serangan implisit atas Dubai (salah satu kota besar di UEA), yang dikenal sebagai pusat aktivitas komersial di kawasan Teluk.
Lalu saat UEA memblokir suatu kesepakatan dari OPEC+, Arab Saudi tampak membalasnya dengan menghentikan jalur penerbangan ke tetangganya itu.
Alasannya adalah khawatir varian Covid, namun penghentian itu muncul menjelang hari libur umat Muslim yang biasanya dimanfaatkan banyak orang untuk bertetirah ke Dubai.
Arab Saudi juga mengumumkan tidak akan lagi memasukkan impor dari zona-zona bebas atau yang berhubungan dengan Israel dalam kesepakatan pembebasan tarif dengan negara-negara Teluk.
Kebijakan itu jadi pukulan bagi perekonomian UEA, yang selama ini menjadi model zona perdagangan bebas.
Kompetisi ekonomi
Polemik di OPEC+ itu dipertegas oleh rivalitas ekonomi yang meningkat di kedua pihak. Mereka sama-sama ingin mendiversifikasi ekonominya dengan mengurangi ketergantungan pada ekspor hidrokarbon.
Bersamaan dengan strategi ekonomi yang lebih agresif yang digencarkan Mohammed bin Salman, kedua negara kini bersaing di sejumlah sektor seperti pariwisata, jasa keuangan, dan teknologi.
"Arab Saudi adalah raksasa di kawasan yang sudah bangun. Dan di level tertentu ini mencemaskan UEA," kata Neil Quilliam, pengamat di Chatham House di London.

"Dalam 15 hingga 20 tahun ke depan, bila Arab Saudi bertransformasi menjadi ekonomi yang dinamis, maka akan jadi ancaman bagi model ekonomi Emirat."
Masih belum jelas apakah Arab Saudi dan UEA pada akhirnya akan bersepakat soal kesepakatan baru OPEC+.
Namun Ali Shihabi, analis asal Saudi yang dekat dengan pihak kerajaan, tidak yakin bahwa keretakan ini akan merusak hubungan mereka dalam jangka panjang, walaupun sikap kaku pihak Emirat itu mengundang "kejutan" bagi Saudi, mengingat mereka sudah bekerja sangat keras untuk mencapai konsensus.
"Kedua pihak punya ketidaksetujuan yang lebih besar di masa lalu," katanya.
"Setiap hubungan tentunya berlangsung naik turun, termasuk antara AS dan Inggris. Namun dasar hubungan ini benar-benar sudah [terlalu] besar untuk dirusak."