Sabtu, 4 Oktober 2025

Krisis Myanmar

AS Blokir Akses untuk Kementerian Myanmar dan Bisnis Militer

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan setidaknya 54 orang telah tewas sejak kudeta.

Reuters
Demonstran berbaris selama protes menentang kudeta militer, di dekat kuil di Bagan, Myanmar 18 Februari 2021. 

TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON DC -  Pemerintah Amerika Serikat (AS) pada Kamis (4/3/2021) mengumumkan langkah-langkah baru untuk menghukum militer Myanmar atas kudeta 1 Februari, dengan cara memblokir Kementerian Pertahanan dan Dalam Negeri serta konglomerat militer tingkat elite dari jenis perdagangan tertentu.

AS juga telah menerapkan pembatasan kontrol ekspor, mengharuskan pemasoknya di AS untuk mencari lisensi AS yang sulit diperoleh untuk mengirimkan barang-barang tertentu.

Tindakan itu diambil sebagai tanggapan atas tindakan brutal militer Myanmar yang semakin intensif terhadap demonstran damai yang menentang pengambilalihan kekuasaan dari pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi, yang telah memenangkan pemilu nasional pada  November lalu.

“Amerika Serikat tidak akan mengizinkan militer Myanmar untuk terus mendapat manfaat dari akses ke banyak barang atau produk,” kata Departemen Perdagangan dalam sebuah pernyataan pada Kamis (4/3/2021) waktu setempat, seperti dilansir Reuters, Jumat (5/3/2021).

"Pemerintah AS akan terus menuntut pertanggungjawaban para aktor  kudeta yang atas tindakan mereka."

Baca juga: KBRI Yangon Tetapkan Myanmar Status Siaga II, Kemlu Kembali Keluarkan Himbauan untuk WNI

Departemen Perdagangan menambahkan bahwa pihaknya sedang meninjau tindakan-tindakan penting lainnya.

Dua konglomerat yang diidentifikasi - Myanmar Economic Corporation dan Myanmar Economic Holdings Limited - adalah di antara mereka yang digunakan oleh militer untuk mengendalikan gelombang besar ekonomi Myanmar melalui perusahaan induk dan anak perusahaan mereka, dengan minat mulai dari bir dan rokok hingga telekomunikasi, ban, pertambangan dan real estat.

Kelompok advokasi Justice for Myanmar mengatakan pada hari Selasa, bahwa Kementerian Dalam Negeri, yang memerintahkan polisi, telah membeli teknologi dari perusahaan-perusahaan Amerika yang sedang digunakan untuk pengawasan media sosial, di antara kegunaan lainnya.

Yadanar Maung, seorang juru bicara kelompok itu, memuji langkah-langkah itu tetapi mendesak lebih banyak lagi tindakan lagi, termasuk tindakan serupa terhadap Kementerian Transportasi dan Komunikasi, yang katanya digunakan "sebagai penutup jendela (window dressing) bagi pasukan militer dan keamanan untuk memperoleh teknologi untuk pengawasan dan penindasan."

"Langkah-langkah komprehensif dan terasah, termasuk embargo senjata global, sangat penting untuk mencegah penjualan senjata dan teknologi yang akan memungkinkan militer untuk memastikan aturan brutal mereka," katanya.

Namun langkah-langkah itu diperkirakan akan memiliki dampak terbatas karena Amerika Serikat mengirimkan sedikit ke Myanmar setiap tahun dan entitas itu bukan importir utama.

"Volume perdagangan kecil sehingga dampaknya tidak akan begitu besar," kata William Reinsch, mantan pejabat Departemen Perdagangan.

"Dampak yang lebih besar adalah mengejar aset keuangan para pemimpin militer otak kudeta," jelasnya.

Reinsch mengatakan daftar itu "akan mempersulit entitas-entitas itu untuk mendapatkan teknologi yang akan memperkuat militer dan barang-barang lain yang mungkin mereka inginkan."

Pemerintah AS belum mengerahkan sanksi terberatnya terhadap konglomerat militer, salah satu yang akan memblokir semua transaksi dengan warga AS dan pada dasarnya menendang perusahaan yang ditunjuk keluar dari sistem perbankan AS.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved