Krisis Myanmar
Kudeta Militer di Myanmar, 42 Pejabat Diculik, 16 Aktivis Hilang Misterius
Tak sedikit warga baru mulai menyadari pihak militer sudah menguasai negara itu saat mereka bersiap memulai harinya.
Saluran TV internasional dan domestik, termasuk stasiun televisi negara, tidak mengudara. Bendera merah cerah NLD diturunkan dari rumah dan bisnis di Yangon.
"Tetangga saya baru saja menurunkan bendera NLD-nya. Ketakutan akan kekerasan itu nyata," tulis jurnalis dan peneliti Annie Zaman di Twitter.
Dia kemudian membagikan video pengibaran bendera di pasar lokal. Terlihat orang-orang menimbun persediaan penting dan mengantre di ATM.
Bank menangguhkan layanan karena koneksi internet yang buruk, tetapi menyatakan akan memulai kembali layanan mulai Selasa (2/2/2021).
Wartawan BBC Burmese Service Nyein Chan Aye mengatakan suasana di Yangon menggambarkan "ketakutan, kemarahan dan frustrasi".
Menurutnya setelah terburu-buru membeli kebutuhan pokok, seperti beras, banyak orang yang tinggal di dalam rumah menunggu untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
Kekhawatiran masa depan
Ini adalah masa yang sulit secara ekonomi bagi banyak orang di Myanmar. Kondisi kudeta membuat banyak orang mengkhawatirkan hal-hal mendasar.
"Saya khawatir jika harga (barang) akan naik. Saya khawatir karena putri saya belum menyelesaikan sekolah (pendidikan). Ini baru setengah jalan. Juga ini adalah masa pandemi," kata Ma Nan, seorang pedagang di Yangon kepada BBC.
Than Than Nyunt, seorang ibu rumah tangga di Yanong, juga khawatir harga barang akan naik dan orang-orang akan memberontak.
“Saya berharap Aung San Suu Kyi dan rekan-rekannya akan dibebaskan lebih cepat," katanya.
Ketakutan menjadi nyata, jika kudeta ini berarti kembali ke jenis kehidupan di bawah pemerintahan militer pada 1990-an dan 2000-an.
Saat itu militer telah melancarkan kudeta berdarah pada 1988. Ribuan orang tewas ketika mahasiswa memimpin pemberontakan melawan pemerintahan satu partai bergaya Soviet.
Suu Kyi menjadi terkenal pada saat itu. Dia berjuang melawan aturan militer dan pelanggaran hak asasi manusia selama dua dekade, setelah militer menolak menerima kemenangan pemilihannya pada 1990.
Kehidupan di Myanmar dibayangi korupsi, harga yang berfluktuasi, penindasan terhadap kehidupan sehari-hari, kekurangan gizi kronis di beberapa daerah, dan perselisihan etnis di daerah lain.
Banyak yang sekarang khawatir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.