WHO Imbau agar Negara-negara Waspadai Puncak Kedua Wabah Corona
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan negara dengan infeksi corona yang menurun untuk mewaspadai puncak kedua pandemi.
TRIBUNNEWS.COM - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan negara dengan infeksi corona yang menurun untuk mewaspadai puncak kedua pandemi.
WHO menekankan risiko ini mungkin terjadi bila negara telalu cepat melonggarkan pembatasan.
Kepala kedaruratan WHO, Dr Mike Ryan menegaskan bahwa dunia masih berada di tengah gelombang pertama wabah pada konferensi online pada Senin (25/5/2020) lalu.
Sejumlah negara Eropa yang memberlakukan penguncian ketat telah mengalami penurunan angka infeksi.
Namun lonjakan demi lonjakan masih terjadi di Amerika Tengah dan Selatan, Asia Selatan, dan Afrika, sebagaimana dikutip dari CNBC.
Baca: WHO Tunda Uji Coba Obat Hidroksiklorokuin untuk Pengobatan Virus Corona
Baca: WHO Prihatin Negara Berkembang Alami Peningkatan Kasus Infeksi Corona

Ryan mengatakan epidemi datang secara bergelombang.
Ini berarti wabah mungkin kembali akhir tahun ini di tempat-tempat yang sudah lolos dari gelombang pertama.
Selain itu ada kemungkinan tingkat infeksi akan naik lebih cepat jika langkah pelonggaran pada gelombang pertama terlalu cepat dilakukan.
"Ketika kita berbicara tentang gelombang kedua secara klasik apa yang sering kita maksudkan adalah akan ada gelombang pertama penyakit dengan sendirinya, dan kemudian muncul kembali berbulan-bulan kemudian."
"Dan itu mungkin menjadi kenyataan bagi banyak negara dalam waktu beberapa bulan," kata Ryan.
Oleh karena itu Ryan mengimbau agar negara tidak terlena dengan angka yang terus menurun.
"Kita juga harus menyadari fakta bahwa penyakit ini dapat melonjak kapan saja."
"Kita tidak dapat membuat asumsi bahwa hanya karena penyakit ini sedang dalam perjalanan turun sekarang akan terus turun dan kita mendapatkan sejumlah bulan untuk bersiap-siap untuk gelombang kedua."
"Kita mungkin mendapatkan puncak kedua dalam gelombang ini," jelas Ryan.
Dia mengatakan negara Eropa dan Amerika Utara harus memperhatikan kesehatan masyarakat, langkah sosial, pengawasan, dan pengujian yang komprehensif.
Ini dilakukan untuk memastikan angka infeksi maupun kematian terus menurun dan terhindari dari puncak kedua wabah.
Akhir-akhir ini banyak negara Eropa dan negara bagian AS yang melonggarkan penguncian wilayah.
Pemerintah rata-rata ingin mengembalikan geliat ekonomi yang terpuruk karena pandemi.

Selain memperingatkan puncak pandemi kedua, WHO juga mengumumkan pihaknya menunda pengujian pada hidroksiklorokuin atau anti-malaria sebagai obat Covid-19.
Ini terjadi setelah studi medis baru-baru ini mengklaim obat tersebut dapat meningkatkan risiko kematian pada pasien Covid-19.
Studi yang tercatat dalam Jurnal The Lancet itu mengatakan percuma mengobati pasien corona dengan hidroksiklorokuin.
Dikutip dari BBC, hidroksiklorokuin aman untuk malaria, lupus, atau radang sendi.
Tapi hingga saat ini belum ada uji klinis yang merekomendasikannya untuk mengobati corona.
Baca: Jepang Perluas Larangan Masuk Pengunjung dari India dan 10 Negara Lainnya
Baca: China Bersiap Ambil Tindakan Balasan Terhadap AS Jika Rusak Kepentingan di Hong Kong
Studi Lancet melibatkan 96.000 pasien Covid-19 dengan hampir 15.000 di antaranya diberi hidroksiklorokuin.
Studi ini menemukan bahwa pasien lebih mungkin meninggal di rumah sakit dan mengalami komplikasi irama jantung dibandingkan pasien lain dalam kelompok pembanding.
Tingkat kematian kelompok yang diobati antara lain hidroksiklorokuin 18 persen, klorokuin 16,4 persen, dan kelompok kontrol 9 persen.
Para peneliti juga memperingatkan bahwa hidroksiklorokuin tidak boleh digunakan di luar uji klinis.
WHO sebelumnya mengaku prihatin karena ada sejumlah orang yang melakukan pengobatan sendiri lantas menyebabkan kerusakan serius pada tubuh.
Senin ini, jajaran WHO mengatakan hidroksiklorokuin akan dihapus dari uji coba tersebut sambil menunggu penilaian keamanan.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)