Kisah dokter abad ke-19 yang dianggap gila karena kampanyekan pentingnya cuci tangan
Pada masa ketika dunia tidak memahami bahaya kuman dan rumah sakit dikenal sebagai 'rumah kematian', Ignaz Semmelweis menyebut keadaan higienis
Mereka yang paling berisiko terinfeksi bakteri adalah para ibu, terutama yang vaginanya sobek dalam persalinan. Luka menganga merupakan habitat ideal bagi bakteri yang dibawa dokter maupun bidan.
Hal pertama yang diperhatikan Semmelweis adalah perbedaan antara dua klinik kebidanan di Rumah Sakit Umum Wina. Dua klinik itu memiliki fasilitasnya yang identik.
Perbedaannya, salah satu klinik dikelola mahasiswa kedokteran pria, sedangkan yang lain berada di bawah asuhan bidan.

Temuannya, klinik yang dikelola mahasiswa kedokteran memiliki tingkat kematian ibu sebesar 98,4 per seribu persalinan pada tahun 1847.
Sementara itu, tingkat kematian di klinik yang dioperasikan bidan ada di angka 36,2 per seribu persalinan.
Ketidakseimbangan angka ini sebelumnya dikaitkan kecenderungan mahasiswa kedokteran pria yang lebih kasar ketimbang bidan saat menangani pasien.
Kematian dini?
Saat itu ada argumentasi yang diyakini, bahwa tindakan medis yang kasar membuat para ibu lebih rentan terhadap demam puerperal. Ini adalah infeksi rahim yang terjadi setelah melahirkan dan penyebab hampir semua kematian ibu di rumah sakit.
Namun Semmelweis tidak yakin dengan penjelasan resmi soal fenomena kematian ibu pascapersalinan itu.
Pada tahun yang sama, kematian salah seorang kawan sejawatnya yang mengalami luka di tangannya selama pemeriksaan post-mortem, memberi petunjuk pada Semmelweis.

Membuka bagian tubuh dalam proses medis pada masa itu dapat menimbulkan risiko yang berakibat fatal.
Setiap luka kulit yang disebabkan pisau bedah, tak peduli seberapa kecil, dikategorikan kondisi bahaya, termasuk untuk para ahli anatomi berpengalaman.
Salah satu contohnya, paman Charles Darwin, juga bernama Charles Darwin, meninggal pada 1778 setelah tersayat saat membedah tubuh seorang anak.
Semmelweis akhirnya melihat bahwa kematian kawannya di Wina diawali gejalanya yang sangat mirip dengan kematian para wanita pascapersalinan.
Pertanyaannya dalam benaknya, mungkinkah para dokter bedah membawa 'partikel jahat' jenazah ke ruang bersalin?
