Sabtu, 4 Oktober 2025

PascaPerang Dunia II tentara dilatih 'tanpa belas kasih' saat bertempur

Seusai Perang Dunia II, sebuah kajian militer yang kontroversial menyebut mayoritas prajurit AS yang terlibat dalam pertempuran sejatinya tidak

Ketika Perang Dunia II berakhir, konflik paling berdarah dalam sejarah yang menewaskan lebih dari 70 juta orang, militer AS mengemukakan kesimpulan menakjubkan: yang tewas dibunuh belum cukup banyak.

Atau dengan kata lain: tentara AS tidak cukup banyak berpartisipasi dalam pembunuhan.

Di dalam regu berisi 10 serdadu, rata-rata kurang dari tiga serdadu yang menembakkan senjata mereka saat bertempur—lepas dari pengalaman mereka atau seberapa besar ancaman musuh terhadap nyawa mereka.

as
Getty Images
Apakah tentara AS enggan menekan pelatuk pada senjata mereka dalam Perang Dunia II?

Hal ini dijabarkan analis sekaligus sejarawan resmi militer AS, Brigadir Jenderal Samuel Lyman Atwood Marshall alias S.L.A. Marshall atau 'Slam,' yang menulis sejumlah artikel dalam jurnal-jurnal militer yang belakangan dijadikan buku berjudul Men Against Fire.

Karyanya menuai kritik tajam dari banyak kalangan yang menuduhnya penipu. Namun, saat itu karyanya merevolusi pelatihan di tubuh militer AS.

Rasio penembakan

"Seorang komandan infanteri akan dianjurkan untuk meyakini bahwa ketika dia berhadapan dengan musuh, tidak lebih dari seperempat anak buahnya yang akan melancarkan serangan telak," tulis Marshall.

"Estimasi 25%," tambahnya, "berlaku pula untuk pasukan yang terlatih dengan baik dan berpengalaman bertempur. Maksud saya, 75% tidak akan menembak atau tidak akan secara konsisten menembak musuh. Serdadu-serdadu ini mungkin menghadapi bahaya tapi mereka tidak akan melawan," ujarnya.

Marshall belakangan merevisi estimasinya dari rata-rata 75% menjadi 85%.

Lantas mengapa pasukan infanteri AS baik di palagan Eropa maupun Pasifik begitu enggan menembakkan senjata walau menghadapi bahaya ekstrem?

as
Getty Images
Riset Marshall mengubah cara pelatihan serdadu.

Menurut Marshall, ada dua penyebab. Pertama, mayoritas tentara akan selalu cenderung memasrahkan pekerjaan kepada segelintir orang. Kedua, peradaban yang berkembang di Amerika membuat warga AS "takut terhadap agresi" sehingga mereka tidak bertempur.

Kesimpulan Marshall adalah orang Amerika adalah manusia yang terlalu damai secara inheren

Karena itu, segenap tentara harus dilatih menembakkan senjata mereka menggunakan insting dalam pertempuran, tanpa berpikir atau menggunakan perasaan belas kasihan.

Sejarawan militer Inggris, Sir John Keegan, menilai "tujuan utama Marshall dalam tulisannya bukanlah semata untuk dijabarkan dan dianalisa...tapi meyakinkan militer Amerika bahwa mereka berperang dengan cara yang salah".

Ditambahkannya, "Argumen-argumennya efektif, pengalamannya sebagai seorang sejarawan tidak umum, yaitu pesannya tidak hanya diterima saat dia masih hidup, tapi juga diterjemahkan menjadi praktik."

as
AFP
Riset mengklaim bahwa pasukan AS di Vietnam cenderung lebih banyak menggunakan senjata mereka ketimbang saat Perang Dunia II.

Halaman
123
Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved