Mitigasi Bencana Masuk Kurikulum Sekolah, Apa Kata Pakar Jerman?
Pakar mitigasi bencana yang juga pengajar di United Nations University, Jörg Szarzynski, tidak lagi asing dengan Indonesia. Beliau…
Anda juga mendukung kegiatan pelatihan di Bogor, Indonesia. Pelatihan apa itu? Bisakah Anda menjelaskan lebih lanjut tentang ini?
Itu adalah bagian dari kegiatan UNU-EHS di sini, di Bonn. Karena selama beberapa tahun kami memiliki kolaborasi yang sangat kuat dengan LIPI di Jakarta. Dalam kerangka ini kami memulai ide untuk melakukan serangkaian langkah pelatihan bersama dengan mitra dari Indonesia, baik di Jakarta atau di Bogor. Saya pikir acara di Bogor adalah yang pertama dari jenis ini, di mana kami bekerja bersama dengan rekan-rekan dari meteorologi, geologi dan pihak-pihak lain, untuk menawarkan pelatihan kepada siswa dari Indonesia terkait dengan sistem peringatan dini, kerentanan dan penelitian risiko, seperti yang kami lakukan di sini di lembaga kami. Dan juga untuk memberikan informasi apa peran sistem PBB dalam kasus bencana internasional yang melebihi kemampuan satu negara untuk menanggulanginya, misalnya. Jadi, setiap kali suatu negara meminta dukungan internasional, PBB memiliki peran dan ini adalah informasi yang kami berikan juga kepada para siswa.
Dalam kasus Indonesia, apa yang sebenarnya lebih mendesak untuk diperhatikan dalam mengembangkan manajemen bencana terbaik, bagian teknis atau kesadaran manusia?
Itu pertanyaan yang rumit dan juga tricky. Tapi saya pikir ada banyak upaya dalam meningkatkan sistem teknis. Tapi seperti yang kita semua tahu, setiap sistem teknis memiliki kemungkinan untuk gagal, karena alasan apa pun. Memperbaiki sistem teknis jelas merupakan suatu keharusan. Tetapi pada saat yang sama, saya selalu berpendapat bahwa masyarakat perlu dilatih dan pemerintah perlu memastikan ada jangkauan informasi yang efektif untuk semua orang, sehingga seluruh populasi bisa dijangkau dengan informasi peringatan dini, mengingat betapa kompleks dan luasnya pulau-pulau di Indonesia.
Selain itu, kearifan lokal juga sangat penting. Di masa lalu ada sejumlah contoh sukses dari kearifan lokal dalam menghadapi bahaya alam, misalnya yang disebut "Smong", dari Pulau Simeuleu. Setelah tsunami besar pada awal abad ke-19, orang di sana telah mengembangkan sistem yang melestarikan kearifan lokal itu dan mentransmisikan pengetahuan itu ke generasi selanjutnya. Hanya dengan menyanyikan sebuah lagu, dengan melihat lingkungan, dengan melihat sinyal pertama dari tsunami yang mendekat, mereka mempraktikkan sistem itu dan selamat dari bahaya.
Dalam kasus tsunami di Samudra Hindia pada tahun 2004, kita semua tahu betapa banyaknya jumlah korban di Banda Aceh, tetapi pada saat yang sama, kurang dari 10 orang meninggal di pulau itu karena mereka sudah tahu gejala tsunami yang mendekat, mereka memberitahu orang-orang dan masyarakat tahu apa yang harus dilakukan dengan informasi ini sehingga mereka semua menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi . Dan saya pikir ini contoh kearifan lokal yang sangat sempurna dalam mitigasi bencana. Dan jika ada cara untuk membawa sistem ini ke daerah Indonesia lainnya, maka cara ini juga bisa sangat menjanjikan.
Jadi, apa yang saya katakan adalah, mitigasi bencana bukan hanya tentang teknologi modern, tetapi juga mencoba untuk mengintegrasikan kearifan lokal.
Apa pesan Anda untuk masyarakat Indonesia?
Saya hanya bisa mendorong Presiden untuk melanjutkan rencana yang merupakan ide bagus ini. Dan juga dari pihak kami, jika ada kesempatan, kami siap untuk mendukung Indonesia dalam meningkatkan kesiapsiagaan penduduk terhadap bahaya alam di masa depan.
Pandangan dan pendapat pribadi dalam wawancara ini adalah milik pakar dan tidak merepresentasi UNU.
Ed.: na/ts